Biografi KH Hasyim Al Asy’ari Pendiri Nahdlatul Ulama (NU)
Sabtu, 12 Juli 2014
0
komentar
KH Hasyim Al Asy’ari adalah seorang ulama pendiri Nahdlatul Ulama (NU), organisasi kemasyarakatan terbesar di Indonesia. Ia juga pendiri pesantren Tebuireng,
Jawa Timur dan dikenal sebagai tokoh pendidikan pembaharu pesantren.
Selain mengajarkan agama dalam pesantren, ia juga mengajar para santri
membaca buku-buku pengetahuan umum, berorganisasi, dan berpidato.
Biografi KH Hasyim Al Asy’ari dari Biografi Web
Karya dan jasa Kiai Hasyim Asy’ari
yang lahir di Pondok Nggedang, Jombang, Jawa Timur, 10 April 1875 tidak
lepas dari nenek moyangnya yang secara turun-temurun memimpin
pesantren. Ayahnya bernama Kiai Asyari, pemimpin Pesantren Keras yang
berada di sebelah selatan Jombang. Ibunya bernama Halimah. Dari garis
ibu, Kiai Hasyim Asy’ari merupakan keturunan Raja Brawijaya VI, yang
juga dikenal dengan Lembu Peteng, ayah Jaka Tingkir yang menjadi Raja
Pajang (keturunan kedelapan dari Jaka Tingkir).
Kelahiran Dan Masa Kecil
Tidak
jauh dari jantung kota Jombang ada sebuah dukuh yang bernama Ngedang
Desa Tambak Rejo yang dahulu terdapat Pondok Pesantren yang konon pondok
tertua di Jombang, dan pengasuhnya Kiai Usman. Beliau adalah seorang
kiai besar, alim dan sangat berpengaruh, istri beliau Nyai Lajjinah dan
dikaruniai enam anak:
- Halimah (Winih)
- Muhammad
- Leler
- Fadli
- Arifah
Halimah
kemudian dijodohkan dengan seorang santri ayahandanya yang bernama
Asy’ari, ketika itu Halimah masih berumur 4 tahun sedangkan Asy’ari
hampir beruisa 25 tahun. Mereka dikarunia 10 anak:
- Nafi’ah
- Ahmad Saleh
- Muhammad Hasyim
- Radiyah
- Hasan
- Anis
- Fatonah
- Maimunah
- Maksun
- Nahrowi, dan
- Adnan.
Muhammad Hasyim,
lahir pada hari Selasa Tanggal 24 Dzulqo’dah 1287 H, bertepatan dengan
tanggal 14 Pebruari 1871 M. Masa dalam kandungan dan kelahiran KH.M.
Hasyim Asy’ari, nampak adanya sebuah isyarat yang menunjukkan
kebesarannya. diantaranya, ketika dalam kandungan Nyai Halimah bermimpi melihat bulan purnama yang jatuh kedalam kandungannya, begitu pula ketika melahirkan Nyai Halimah tidak merasakan sakit seperti apa yang dirasakan wanita ketika melahirkan.
Di
masa kecil beliau hidup bersama kakek dan neneknya di Desa Ngedang, ini
berlangsung selama enam tahun. Setelah itu beliau mengikuti kedua orang
tuanya yang pindah ke Desa Keras terletak di selatan kota Jombang dan
di desa tersebut Kiai Asy’ari mendirikan pondok pesantren yang bernama
Asy’ariyah.
Principle of early learning, mungkin teori
ini layak disandang oleh beliau, berdasarkan kehidupan beliau yang
mendukung yaitu hidup dilingkungan pesantren, sehingga wajar kalau
nilai-nilai pesantren sangat meresap pada dirinya, begitu pula
nilai-nilai pesantren dapat dilihat bagaimana ayahanda dan bundanya
memberikan bimbingan kepada santri, dan bagaimana para santri hidup
dengan sederhana penuh dengan keakraban dan saling membantu..
Belajar Pada Keluarga
Perjalanan
keluarga beliau pulalah yang memulai pertama kali belajar ilmu-ilmu
agama baik dari kakek dan neneknya. Desa Keras membawa perubahan hidup
yang pertama kali baginya, disini mula-mula ia menerima pelajaran agama
yang luas dari ayahnya yang pada saat itu pendiri dan pengasuh Pondok
Pesantren Asy’ariyah. Dengan modal kecerdasan yang dimiliki dan dorongan
lingkungan yang kondusif, dalam usia yang cukup muda, beliau sudah
dapat memahami ilmu-ilmu agama, baik bimbingan keluarga, guru, atau
belajar secara autodidak. Ketidakpuasannya terhadap apa yang sudah
dipelajari, dan kehausan akan mutiara ilmu, membuatnya tidak cukup hanya
belajar pada lingkungan keluarganya. Setelah sekitar sembilan tahun di
Desa Keras (umur 15 tahun) yakni belajar pada keluarganya, beliau mulai
melakukan pengembaraanya menuntut ilmu.
Mengembara ke Berbagai Pesantren
Dalam
usia 15 tahun, perjalanan awal menuntut ilmu, Muhammad Hasyim belajar
ke pondok-pondok pesantren yang masyhur di tanah Jawa, khususnya Jawa
Timur. Di antaranya adalah Pondok Pesantren Wonorejo di Jombang,
Wonokoyo di Probolinggo, Tringgilis di Surabaya, dan Langitan di Tuban
(sekarang diasuh oleh K.H Abdullah Faqih), kemudian Bangkalan, Madura,
di bawah bimbingan Kiai Muhammad Khalil bin Abdul Latif (Syaikhuna
Khalil).
Ada cerita yang cukup mengagumkan tatkala KH.M. Hasyim Asy’ari
“ngangsu kawruh” dengan Kiai Khalil. Suatu hari, beliau melihat Kiai
Khalil bersedih, beliau memberanikan diri untuk bertanya. Kiai Khalil
menjawab, bahwa cincin istrinya jatuh di WC, Kiai Hasyim lantas usul
agar Kiai Khalil membeli cincin lagi. Namun, Kiai Khalil mengatakan
bahwa cincin itu adalah cincin istrinya. Setelah melihat kesedihan di
wajah guru besarnya itu, Kiai Hasyim menawarkan diri untuk mencari
cincin tersebut didalam WC. Akhirnya, Kiai Hasyim benar-benar mencari
cincin itu didalam WC, dengan penuh kesungguhan, kesabaran, dan
keikhlasan, akhirnya Kiai Hasyim menemukan cincin tersebut. Alangkah
bahagianya Kiai Khalil atas keberhasilan Kiai Hasyim itu. Dari kejadian
inilah Kiai Hasyim menjadi sangat dekat dengan Kiai Khalil, baik semasa
menjadi santrinya maupun setelah kembali ke masyarakat untuk berjuang.
Hal ini terbukti dengan pemberian tongkat saat Kiai Hasyim hendak
mendirikan Jam’iyah Nahdlatul Ulama’ yang dibawa KH. As’ad Syamsul
Arifin (pengasuh Pondok Pesantren Syafi’iyah Situbondo).
Setelah
sekitar lima tahun menuntut ilmu di tanah Madura (tepatnya pada tahun
1307 H/1891 M), akhirnya beliau kembali ke tanah Jawa, belajar di
pesantren Siwalan, Sono Sidoarjo, dibawah bimbingan K. H. Ya’qub yang
terkenal ilmu nahwu dan shorofnya. Selang beberapa lama, Kiai Ya’qub
semakin mengenal dekat santri tersebut dan semakin menaruh minat untuk
dijadikan menantunya.
Pada tahun 1303 H/1892 M., Kiai Hasyim yang
saat itu baru berusia 21 tahun menikah dengan Nyai Nafisah, putri Kiai
Ya’qub. Tidak lama setelah pernikahan tersebut, beliau kemudian pergi ke
tanah suci Mekah untuk menunaikan ibadah haji bersama istri dan
mertuanya. Disamping menunaikan ibadah haji, di Mekah beliau juga
memperdalam ilmu pengetahuan yang telah dimilkinya, dan menyerap
ilmu-ilmu baru yang diperlukan. Hampir seluruh disiplin ilmu agama
dipelajarinya, terutama ilmu-ilmu yang berkaitan dengan hadits
Rasulullah SAW yang menjadi kegemarannya sejak di tanah air.
Perjalanan
hidup terkadang sulit diduga, gembira dan sedih datang silih
berganti.demikian juga yang dialami Kiai Hasyim Asy’ari di tanah suci
Mekah. Setelah tujuh bulan bermukim di Mekah, beliau dikaruniai putra
yang diberi nama Abdullah. Di tengah kegembiraan memperoleh buah hati
itu, sang istri mengalami sakit parah dan kemudian meninggal dunia.
empat puluh hari kemudian, putra beliau, Abdullah, juga menyusul sang
ibu berpulang ke Rahmatullah. Kesedihan beliau yang saat itu sudah mulai
dikenal sebagai seorang ulama, nyaris tak tertahankan. Satu-satunya
penghibur hati beliau adalah melaksanakan thawaf dan ibadah-ibadah
lainnya yang nyaris tak pernah berhenti dilakukannya. Disamping itu,
beliau juga memiliki teman setia berupa kitab-kitab yang senantiasa
dikaji setiap saat. Sampai akhirnya, beliau meninggalkan tanah suci,
kembali ke tanah air bersama mertuanya.
Kematangan Ilmu di Tanah Suci
Kerinduan
akan tanah suci rupanya memanggil beliau untuk kembali lagi pergi ke
kota Mekah. Pada tahun 1309 H/1893 M, beliau berangkat kembali ke tanah
suci bersama adik kandungnya yang bernama Anis. Kenangan indah dan sedih
teringat kembali tatkala kaki beliau kembali menginjak tanah suci
Mekah. Namun hal itu justru membangkitkan semangat baru untuk lebih
menekuni ibadah dan mendalami ilmu pengetahuan. Tempat-tempat bersejarah
dan mustajabah pun tak luput dikunjunginya, dengan berdoa untuk meraih
cita-cita, seperti Padang Arafah, Gua Hira’, Maqam Ibrahim, dan
tempat-tempat lainnya. Bahkan makam Rasulullah SAW di Madinah pun selalu
menjadi tempat ziarah beliau. Ulama-ulama besar yang tersohor pada saat
itu didatanginya untuk belajar sekaligus mengambil berkah, di antaranya
adalah Syaikh Su’ab bin Abdurrahman, Syaikh Muhammad Mahfud Termas
(dalam ilmu bahasa dan syariah), Sayyid Abbas Al-Maliki al-Hasani (dalam
ilmu hadits), Syaikh Nawawi Al-Bantani dan Syaikh Khatib Al-Minang
Kabawi (dalam segala bidang keilmuan).
Upaya yang melelahkan ini
tidak sia-sia. Setelah sekian tahun berada di Mekah, beliau pulang ke
tanah air dengan membawa ilmu agama yang nyaris lengkap, baik yang
bersifat ma’qul maupun manqul, seabagi bekal untuk beramal dan mengajar
di kampung halaman.
Mendirikan Pondok Pesantren Tebuireng
Sepulang
dari tanah suci sekitar Tahun1313 H/1899 M, beliau memulai mengajar
santri, beliau pertama kali mengajar di Pesantren Ngedang yang diasuh
oleh mediang kakeknya, sekaligus tempat dimana ia dilahirkan dan
dibesarkan. Setelah itu belaiu mengajar di Desa Muning Mojoroto Kediri.
Disinilah beliau sempat menikahi salah seoarang putri Kiai Sholeh Banjar
Melati. Akungnya, karena berbagai hal, pernikahan tersebut tidak
berjalan lama sehingga Kiai Hasyim kembali lagi ke Jombang.
Ketika
telah berada di Jombang beliau berencana membangun sebuah pesantren
yang dipilihlah sebuah tempat di Dusun Tebuireng yang pada saat itu
merupakan sarang kemaksiatan dan kekacauan. Pilihan itu tentu saja
menuai tanda tanaya besar dikalangan masyarakat, akan tetapi semua itu
tidak dihiraukannaya.
Nama Tebuireng pada asalnya Kebo ireng
(kerbau hitam). Ceritanya, Di dearah tersebut ada seekor kerbau yang
terbenam didalam Lumpur, dimana tempat itu banyak sekali lintahnya,
ketika ditarik didarat, tubuh kerbau itu sudah berubah warna yang
asalnya putih kemerah-merahan berubah menjadi kehitam-hitaman yang
dipenuhi dengan lintah. Konon semenjak itulah daerah tadi dinamakan
Keboireng yang akhirnya berubah menjadi Tebuireng.
Pada tanggal 26
Robiul Awal 1317 H/1899 M, didirikanlah Pondok Pesantren Tebuireng,
bersama rekan-rekan seperjuangnya, seperti Kiai Abas Buntet, Kiai Sholeh
Benda Kereb, Kiai Syamsuri Wanan Tara, dan beberapa Kiai lainnya,
segala kesuliatan dan ancaman pihak-pihak yang benci terhadap penyiaran
pendidikan Islam di Tebuireng dapat diatasi.
KH. M. Hasyim Asya’ri
memulai sebuah tradisi yang kemudian menjadi salah satu keistimewaan
beliau yaitu menghatamkan kitab shakhihaini “Al-Bukhori dan Muslim”
dilaksanakan pada setiap bulan suci ramadlan yang konon diikuti oleh
ratusan kiai yang datang berbondong-bondong dari seluruh jawa. Tradisi
ini berjalan hingga sampai sekarang (penggasuh PP. Tebuireng KH. M.Yusuf
Hasyim). Para awalnya santri Pondok Tebuireng yang pertama berjumlah 28
orang, kemudian bertambah hingga ratusan orang, bahkan diakhir hayatnya
telah mencapai ribuan orang, alumnus-alumnus Pondok Tebuireng yang
sukses menjadi ulama’ besar dan menjadi pejabat-pejabat tinggi negara,
dan Tebuireng menjadi kiblat pondok pesantren.
Mendirikan Nahdlatul Ulama’
Disamping
aktif mengajar beliau juga aktif dalam berbagai kegiatan, baik yang
bersifat lokal atau nasional. Pada tanggal 16 Sa’ban 1344 H/31 Januari
1926 M, di Jombang Jawa Timur didirikanlah Jam’iyah Nahdlotul Ulama’
(kebangkitan ulama) bersama KH. Bisri Syamsuri, KH. Wahab Hasbullah, dan
ulama’-ulama’ besar lainnya, dengan azaz dan tujuannya: “Memegang
dengan teguh pada salah satu dari madzhab empat yaitu Imam Muhammad bin
Idris Asyafi’i, Imam Malik bin Anas,
Imam Abu Hanifah An-Nu’am dan Ahmad bin Hambali. Dan juga mengerjakan
apa saja yang menjadikan kemaslahatan agama Islam”. KH. Hasyim Asy’ari
terpilih menjadi rois akbar NU, sebuah gelar sehingga kini tidak seorang
pun menyandangnya. Beliau juga menyusun qanun asasi (peraturan dasar) NU yang mengembangkan faham ahli sunnah waljama’ah.
Nahdlatul
ulama’ sebagai suatu ikatan ulama’ seluruh Indonesia dan mengajarkan
berjihad untuk keyakinan dengan sistem berorganisasi. Memang tidak mudah
untuk menyatukan ulama’ yang berbeda-beda dalam sudut pandangnya,
tetapi bukan Kiai Hasyim kalau menyerah begitu saja, bahwa beliau
melihat perjuangan yang dilakukan sendiri-sendiri akan lebih besar
membuka kesempatan musuh untuk menghancurkannya, baik penjajah atau
mereka yang ingin memadamkan sinar dan syi’ar Islam di Indonesia, untuk
mengadudomba antar sesama. Beliau sebagai orang yang tajam dan jauh pola
pikirnya dalam hal ini, melihat bahaya yang akan dihadapkannya oleh
umat Islam, dan oleh karena itu beliau berfikir mencari jalan keluarnya
yaitu dengan membentuk sebuah organisasi dengan dasar-dasar yang dapat
diterima oleh ulama’ulama lain.
Jam’iyah ini berpegang pada faham
ahlu sunnah wal jama’ah, yang mengakomodir pada batas-batas tertentu
pola bermadzhab, yang belakangan lebih condong pada manhaj dari pada
sekedar qauli. Pada dasawarsa pertama NU berorentasi pada persoalan
agama dan kemasyarakatan. Kegiatan diarahkankan pada persoalan
pendidikan, pengajian dan tabligh. Namun ketika memasuki dasawarsa kedua
orentasi diperluas pada persoalan-persolan nasional. Hal tersebut
terkait dengan keberadaannya sebagai anggota federasi Partai dan
Perhimpunan Muslim Indonesia (MIAI) NU bahkan pada perjalanan sejarahnya
pernah tampil sebagai salah satu partai polotik peserta pemilu, yang
kemudian menyatu dengan PPP, peran NU dalam politik praktis ini kemudian
diangulir dengan keputusan Muktamar Situbono yanh menghendaki NU
sebagai organisasi sosial keagamaan kembali pada khitohnya.
Pejuang Kemerdekaan
Peran
KH. M. Hasyim Asy’ari tidak hanya terbatas pada bidang keilmuan dan
keagamaan, melainkan juga dalam bidang sosial dan kebangsaan, beliau
terlibat secara aktif dalam perjuangan membebaskan bangsa dari penjajah
belanda.
Pada tahun 1937 beliau didatangi pimpinan pemerintah
belanda dengan memberikan bintang mas dan perak tanda kehormatan tetapi
beliau menolaknya. Kemudian pada malam harinya beliau memberikan nasehat
kepada santri-santrinya tentang kejadian tersebut dan menganalogkan
dengan kejadian yang dialami Nabi Muhammad SAW yang ketika itu kaum
Jahiliyah menawarinya dengan tiga hal, yaitu:
- Kursi kedudukan yang tinggi dalam pemerintahan
- Harta benda yang berlimpah-limpah
- Gadis-gadis tercantik
Akan tetapi Nabi SAW menolaknya bahkan berkata: “Demi
Allah, jika mereka kuasa meletakkan matahari ditangan kananku dan bulan
ditangan kiriku dengan tujuan agar aku berhenti dalam berjuang, aku
tidak akan mau menerimanya bahkan nyawa taruhannya”. Akhir KH.M.
Hasyim Asy’ari mengakhiri nasehat kepada santri-santrinya untuk selalu
mengikuti dan menjadikan tauladan dari perbuat Nabi SAW.
Masa-masa
revolusi fisik di Tahun 1940, barang kali memang merupakan kurun waktu
terberat bagi beliau. Pada masa penjajahan Jepang, beliau sempat ditahan
oleh pemerintah fasisme Jepang. Dalam tahanan itu beliau mengalami penyiksaan fisik sehingga salah satu jari tangan beliau menjadi cacat.
Tetapi justru pada kurun waktu itulah beliau menorehkan lembaran dalam
tinta emas pada lembaran perjuangan bangsa dan Negara republik
Indonesia, yaitu dengan diserukan resolusi jihad yang beliau memfatwakan pada tanggal 22 Oktober 1945, di Surabaya yang lebih dikenal dengan hari pahlawan nasional.
Begitu
pula masa penjajah Jepang, pada tahun 1942 Kiai Hasyim dipenjara
(Jombang) dan dipindahkan penjara Mojokerto kemudian ditawan di
Surabaya. Beliau dianggap sebagai penghalang pergerakan Jepang.
Setelah
Indonesia merdeka Pada tahun 1945 KH. M. Hasyim Asy’ari terpilih
sebagai ketua umum dewan partai Majlis Syuro Muslimin Indonesia
(MASYUMI) jabatan itu dipangkunya namun tetap mengajar di pesantren
hingga beliau meninggal dunia pada tahun 1947.
Keluarga Dan Sisilah
Hampir
bersamaan dengan berdirinya Pondok Pesantren Tebuireng (1317 H/1899 M),
KH. M. Hasyim Asya’ri menikah lagi dengan Nyai Nafiqoh putri Kiai Ilyas
pengasuh Pondok Pesantren Sewulan Madiun. Dari perkawinan ini kiai
hasyim dikaruniai 10 putra dan putri yaitu:
- Hannah
- Khoiriyah
- Aisyah
- Azzah
- Abdul Wahid
- Abdul hakim (Abdul Kholiq)
- Abdul Karim
- Ubaidillah
- Mashurroh
- Muhammad Yusuf.
Menjelang
akhir Tahun 1930, KH. M. Hasyim Asya’ri menikah kembali denagn Nyai
Masruroh, putri Kiai Hasan, pengasuh Pondok Pesantren Kapurejo,
Kecamatan Pagu Kediri, dari pernikahan tersebut, beliua dikarunia 4
orang putra-putri yaitu:
- Abdul Qodir
- Fatimah
- Chotijah
- Muhammad Ya’kub
Garis keturunan KH. M. Hasyim Asy’ari (Nenek ke-sembilan )
Muhammad
Hasyim bin Asy’ari bin Abdul Wahid (Pangeran Sambo) bin Abdul Halim
(Pangeran Benowo) bin Abdul Rahman (Mas Karebet/Jaga Tingkir) yang
kemudian bergelar Sultan Hadiwijaya bin Abdullah (Lembu Peteng) yang
bergelar Brawijaya VI
Wafatnya Sang Tokoh
Pada Tanggal 7
Ramadhan 1366 M. jam 9 malam, beliau setelah mengimami Shalat Tarawih,
sebagaimana biasanya duduk di kursi untuk memberikan pengajian kepada
ibu-ibu muslimat. Tak lama kemudian, tiba-tiba datanglah seorang tamu
utusan Jenderal Sudirman dan Bung Tomo. Sang Kiai menemui utusan
tersebut dengan didampingi Kiai Ghufron, kemudian tamu itu menyampaikan
pesan berupa surat. Entah apa isi surat itu, yang jelas Kiai Hasyim
meminta waktu semalam untuk berfikir dan jawabannya akan diberikan
keesokan harinya.
Namun
kemudian, Kiai Ghufron melaporkan situasi pertempuran dan kondisi
pejuang yang semakin tersudut, serta korban rakyat sipil yang kian
meningkat. Mendengar laporan itu, Kiai Hasyim berkata, “Masya Allah, Masya Allah…”
kemudian beliau memegang kepalanya dan ditafsirkan oleh Kiai Ghufron
bahwa beliau sedang mengantuk. Sehingga para tamu pamit keluar. Akan
tetapi, beliau tidak menjawab, sehingga Kiai Ghufron mendekat dan
kemudian meminta kedua tamu tersebut untuk meninggalkan tempat,
sedangkan dia sendiri tetap berada di samping Kiai Hasyim Asy’ari. Tak
lama kemudian, Kiai Ghufron baru menyadari bahwa Kiai Hasiyim tidak
sadarkan diri. Sehingga dengan tergopoh-gopoh, ia memanggil keluarga dan
membujurkan tubuh Kiai Hasyim. Pada saat itu, putra-putri beliau tidak
berada di tempat, misalnya Kiai Yusuf Hasyim yang pada saat itu sedang
berada di markas tentara pejuang, walaupun kemudian dapat hadir dan
dokter didatangkan (Dokter Angka Nitisastro).
Tak lama kemudian
baru diketahui bahwa Kiai Hasyim terkena pendarahan otak. Walaupun
dokter telah berusaha mengurangi penyakitnya, namun Tuhan berkehendak
lain pada kekasihnya itu. KH.M. Hasyim Asy’ari wafat pada pukul 03.00
pagi, Tanggal 25 Juli 1947, bertepatan dengan Tanggal 07 Ramadhan 1366
H. Inna LiLlahi wa Inna Ilaihi Raji’un.
Kepergian belaiu ketempat
peristirahatan terakhir, diantarkan bela sungkawa yang amat dalam dari
hampir seluruh lapisan masyarakat, terutama dari para pejabat sipil
maupun militer, kawan seperjuangan, para ulama, warga NU, dan khususnya
para santri Tebuireng. Umat Islam telah kehilangan pemimpin besarnya
yang kini berbaring di pusara beliau di tenggah Pesantrn Tebuireng. Pada
saat mengantar kepergianya, shahabat dan saudara beliau, KH. Wahab
hazbulloh, sempat mengemukakan kata sambutan yang pada intinya
menjelaskan prinsip hidup belaiu, yakni, “berjuang terus dengan tiada mengenal surut, dan kalau perlu zonder istirahat”.
Karya Kitab Klasik
Peninggalan
lain yang sangat berharga adalah sejumlah kitab yang beliau tulis
disela-sela kehidupan beliau didalam mendidik santri, mengayomi ribuan
umat, membela dan memperjuangkan bumi pertiwi dari penjajahan. Ini
merupakan bukti riil dari sikap dan perilakunya, pemikirannya dapat
dilacak dalam beberapa karyanya yang rata-rata berbahasa Arab.
Tetapi
sangat disayangkan, karena kurang lengkapnya dokumentasi, kitab-kitab
yang sangat berharga itu lenyap tak tentu rimbanya. Sebenarnya, kitab
yang beliau tulis tidak kurang dari dua puluhan judul. Namun diakungkan
yang bisa diselamatkan hanya beberapa judul saja, diantaranya:
- Al-Nurul Mubin Fi Mahabati Sayyidi Mursalin. Kajian kewajiban beriman, mentaati, mentauladani, berlaku ikhlas, mencinatai Nabi SAW sekaligus sejarah hidupnya
- Al-Tanbihat al-Wajibat Liman Yashna’u al-Maulida Bi al-Munkarat. Kajian mengenai maulid nabi dalam kaitannya dengan amar ma’ruf nahi mungkar
- Risalah Ahli Sunnah Wal Jama’ah. Kajian mengenai pandangan terhadap bid’ah, Konsisi salah satu madzhab, dan pecahnya umat menjadi 73 golongan
- Al-Durasul Muntasyiroh Fi Masail Tis’a ‘asyaraoh. Kajian tentang wali dan thoriqoh yang terangkum dalam sembilan belas permasalahan.
- Al-Tibyan Fi Nahyi’an Muqatha’ah al-Arham Wa al-Aqrab Wa al-Akhwal. Kajian tentang pentingnya jalinan silaturahmi antar sesama manusia
- Adabul ‘Alim Wa Muata’alim. Pandangan tentang etika belajar dan mengajar didalam pendidikan pesantrren pada khususnya
- Dlau’ al-Misbah Fi Bayani Ahkami Nikah. Kajian hukum-hukum nikah, syarat, rukun, dan hak-hak dalam perkawinan
- Ziyadah Ta’liqot. Kitab yang berisikan polemic beliau dengan syaikh Abdullah bin yasir Pasuruaan