SEJARAH AL-QUR’AN; DARI PENURUNAN WAHYU HINGGA PEMBUKUAN
Rabu, 17 September 2014
0
komentar
Pengertian Al-Qur’an
Ditinjau dari segi Etimologi Al-Qur’an berarti "bacaan".Kata Al-Qur’an adalah bentuk kata benda (masdar) dari kata kerja qara'a yang artinya membaca.
Secara Terminologis adalah : Wahyu yang diturunkan kepada Rasulullah, merupakan mu’jizat terbesar beliau, lafal dan maknanya dari Allah SWT, dan merupakan ibadah bagi yang membacanya.
Proses Turunnya Al-Qur’an
Allah subhanahu wata’ala telah memuliakan kitab suci al-Qur’an dengan menurunkan al-Qur’an melalui 2 tahapan:
1. Al-Qur’an diturunkan secara utuh
Pada tahap pertama, al-Qur’an diturunkan secara utuh ke Baitul Izzah (rumah kemuliaan) yang berada di langit dunia pada bulan romadhon. Hikmah diturunkannya al-Qur’an ke langit dunia adalah untuk menunjukkan keagungan al-Qur’an dan kemuliaan Nabi yang diberikan wahyu berupa al-Qur’an. Selain itu hal tersebut dimaksudkan agar penghuni langit mengetahui bahwa al-Qur’an adalah kitab suci terakhir yang diturunkan kepada Nabi terakhir dan ditujukan bagi umat yang paling mulia.
2. Al-Qur’an diturunkan sedikit demi sedikit
Setelah al-Qur’an diturunkan ke langit dunia, secara berangsur al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad melalui Malaikat Jibril dimulai saat Nabi Muhammad diangkat menjadi Rasul sampai beliau wafat.
Dua tahapan turunnya al-Qur’an ini dijelaskan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Athiyah bin al-Aswad, ia bertanya pada Ibnu Abbas; “Dalam hatiku terdapat keraguan mengenai firman Allah:
“Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan Al Quran.” (QS. Al-Baqoroh : 185).
dan Firman-Nya,
“Kami menurunkan al-Qur’an pada lailatul qodar.” (QS. Al-Qodr : 1)
padahal al-Qur’an terkadang turun pada bulan Syawal, Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharam, Shafar, dan Ar-rabi’?” Ibnu Abbas menjawab, ”Bahwa al-Quran itu diturunkan pada bulan Ramadhan pada malam Lailah al-Qadar secara sekaligus, kemudian diturunkan lagi berdasarkan masa turunnya bagian-bagian bintang secara berangsur pada beberapa bulan dan hari.” (Al-Asmaa wa ash-Shifaat, no. 487)
Diantara hikmah diturunkannya al-Qur’an sedikit demi sedikit dan tidak secara utuh sebagaimana kitab - kitab suci sebelumnya adalah:
• Untuk menetapkan dan menguatkan hati Nabi Muhammad.
Firman allah dalam surat al furqan ayat 32
Berkatalah orang-orang yang kafir: "Mengapa Al Quran itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja?"; demikianlah supaya Kami perkuat hatimu dengannya dan Kami membacanya secara tartil (teratur dan benar).
• Mendidik umat Islam agar terbiasa mengamalkan ilmu yang telah didapatkan, sedikit demi sedikit.
• Turunnya wahyu mengikuti keadaan.
Jam’ul Qur’an
Jam’ul Qur’an (Pengumpulan Al–Qur’an) oleh para ulama diartikan menjadi dua makna:
1. Pengumpulan dalam arti Hifzuhu (menghafal dalam hati)
Firman allah dalam surat al qiyamah ayat 17
Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya.
Sahabat yang terkenal dalam bidang hafalan Qur’an (hafidz) ada 7 orang, yaitu: Abdullah bin Mas’ud, Salim bin Mua’qqil, Muadz bin Jabal, Ubay Bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abu Zaid bin Sukun, dan Abu Darda’.
2. Pengumpulan dalam arti Kitabatuhu kullihi (penulisan Al–qur’an keseluruhan)
Pengumpulan Al-qur’andalam arti ini terdiri tiga periode, yaitu
1. Masa Rasulullah SAW,
2. Masa Khalifah Abu Bakar dan Masa
3. Khalifah Utsman Bin Affan.
1. Pengumpulan pada Masa Rasulullah SAW.
Rasulullah telah mengangkat para sahabat sebagai penulis wahyu. Diantara mereka adalah ‘Ali, Muawiyah, Ubay Bin Ka’ab dan Zaid Bin Tsabit. Bila turun ayat, Rasulullah memerintahkan mereka untuk menuliskannya dan menunjukkan tempat ayat tersebut dalam suatu surat. Hal itu sesuai dengan anjuran Jibril ‘alaihissalam. Para sahabat menuliskannya pada pelepah kurma, lempengan batu, daun lontar, kulit atau daun, pelana atau potongan tulang binatang. Karena keterbatasan media, sehingga pada masa itu Al–qur’an belum rapi dan belum berbentuk mushaf.
Zaid bin Tsabit mengisahkan;
“Kita berada di samping Rasulullah SAW menyusun al-Qur’an dari riqo’ (Beberapa kertas, kulit atau daun).” (Sunan Turmudzi, no. 3954).
Utsman mengisahkan bahwa ketika turun wahyu kepada Rasulullah, maka beliau akan memanggil sebagian orang yang bisa menulis, kemudian beliau memberi petunjuk dengan mengatakan:
“Letakkanlah ayat ini pada surat yang dijelaskan begini dan begini.” (Sunan Abu Dawud, no. 786)
Pada masa ini al-Qur’an belum belum dibukukan dengan urutan surat dan ayat seperti mushaf al-Qur’an yang kita pakai. Hal ini dikarenakan saat beliau masih hidup masih dimungkingkan terjadinya nasykh (penghapusan bacaan atau hukum) dalam al-Qur’an.
2. Pengumpulan pada Masa Khalifah Abu Bakar
Penulisan Al–qur’an pada masa Abu Bakar adalah dalam rangka menjaga keutuhan Al–qur’an agar tidak hilang, seiring dengan banyaknya para penghafal Al–qur’an yang syahid di medan perang.
Abu Bakar menjadi khalifah pertama sepeninggal Rasulullah SAW. Ia dihadapkan pada peristiwa–peristiwa berkenaan dengan kemurtadan sebagian orang Arab. Karena itu ia segera menyiapkan pasukan dan mengirimkannya untuk memerangi orang yang murtad itu. Perang Yamamah terjadi pada tahun ke 12 hijriah melibatkan sejumlah besar penghafal Al–qur’an. Dalam peperangan ini sejumlah 70 penghafal Al–qur’an gugur.
Dengan kejadian tesebut, Umar bin Kahattab merasa khawatir jika peperangan di tempat lain akan membunuh banyak penghafal Al–qur’an. Ia lalu menghadap kepada Abu Bakar untuk mengajukan usul agar mengumpulkan dan membukukan Al–qur’an, karena dikhawatirkan akan musnah.
Abu Bakar menolak usulan ini karena tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah. Tatapi Umar tetap membujuknya, sehingga Allah SWT membuka hati Abu Bakar untuk menerima usdulan tersebut. Kemudian Abu Bakar memerintahkan Zaid bin Tsabit untuk melakukan tugas tersebut. Pada awalnya Zaid menolak, keduanya bertukar pendapat sampai akhirnya Zaid dapat menerima dengan lapang dada perintah penulisan itu. Zaid memulai tugas beratnya dengan bersandar pada hafalan yang ada dalam hati para penghafal dan catatan yang ada pada penulis. Kemudian lembaran–lembaran tersebut disimpan oleh Abu Bakar. Setelah Abu Bakar wafat pada tahun 13 Hijriah, kemudian berpindah ke tangan Umar hingga ia wafat. Kemudian berpindah ke tangan Hafsah, putri Umar.
3. Pengumpulan pada Masa Khalifah Utsman bin ‘Affan
Penulisan pada masa Usman terjadi pada tahun 25 Hijriah. Penulisan pada masa ini adalah dalam rangka menyatukan berbagai macam perbedaan bacaan yang beredar di masyarakat saat itu. Ketika terjadi perang Armenia dan zarbaijan dengan penduduk Irak, di antara orang yang ikut menyerbu kedua tempat itu ialah Huzaifah bin Yaman. Ia melihat banyak perbedaan dalam cara–cara membaca Al–qur’an. Sebagian bacaan itu bercampur dengan kesalahan, tetapi masing–masing mempertahankan dan berpegang pada bacaannya, serta menentang setiap orang yang menyalahi bacaannya dan bahkan mereka saling mengkafirkan. Melihat kenyataan demikian Huzaifah segera menghadap Utsman dan melaporkan kepadanya apa yang dilihatnya.
Dengan keadaan demikian, Utsman pun khawatir bahwa akan adanya perbedaan bacaan pada anak–anak nantinya. Para sahabat memprihatinkan kenyataan karena takut kalau ada penyimpangan dan perubahan. Mereka bersepakat untuk menyalin lembaran–lembaran pertama yang ada pada Abu Bakar dan menyatukan umat Islam pada lembaran–lembaran itu dengan bacaan yang tetap pada satu huruf.
Utsman kemudian mengirimkan utusan kepada Hafsah untuk meminjam mushaf yang ada padanya. Kemudian Utsman membentuk panitia yang beranggotakan Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Sa’id bin ‘As, dan Abdurrahman bin Haris bin Hisyam, ketiga orang terakhir adalah suku Quraisy. Lalu memerintahkan mereka untuk memperbanyak mushaf. Nasehat Utsman kepada mereka:
1. Mengambil pedoman kepada bacaan mereka yang hafal Al–qur’an
2. Jika ada perselisihan di antara mereka tentang bahasa (bacaan), maka haruslah dituliskan dalam dialek suku Quraisy, sebab Al–qur’an diturunkan menurut dialek mereka .
Artinya : Jika kalian berbeda bacaan dengan Zaid Ibn Tsabit pada sebagian ayat Al-Qur’an, maka tuliskanlah dengan dialek Quraisy, karena Al-Qur’an diturunkan dengan dialek tersebut
Mereka melaksanakan perintah tersebut. Setelah mereka selesai menyalinnya menjadi beberapa mushaf, Utsman mengembalikan lembaran asli kepada Hafsah. Al–qur’an yang telah dibukua dinamai dengan “Al – Mushaf”, dan panitia membuat lima buah mushaf. Empat di antaranya dikirimkan ke Mekah, Syria, Basrah dan Kufah, agar di tempat – tepat itu disalin pula, dan satu buah ditinggalkan di Madinah, untuk Utsman sendiri, dan itulah yang dinamai Mushaf “Al–Imam”, dan memerintahkan agar semua Al–qur’an atau mushaf yang ada dibakar.
Dengan demikian, dibukukannya Al–qur’an di masa Utsman manfaatnya yang utama adalah:
1. menyatukan kaum muslimin pada satu macam mushaf yang seragam ejaan dan tulisannya.
2. menyatukan bacaan, dan kendatipun masih ada kelainan bacaan, tetapi tidak tidak bertentangan dengan ejaan mushaf–mushaf Utsman.
3. menyatukan tertib susunan surat–surat.
Pemberian Titik Dan Harokat Pada Alquran
al-Qur’an yang telah dikodifikasi mulai dari nabi Muhammad sampai masa Khalifah Utsman bin ‘Affan ditulis dengan menggunakan tanpa titik ataupun tanda baca yang dapat membedakan antara satu huruf dengan huruf lainnya. Pun demikian generasi awal Islam ini, jarang terjadi kesalahan dalam pengucapan bahasa Arab maupun dalam membaca al-Qur’an. Dan juga belum terpikirkan oleh para sahabat untuk menambahkan titik dan harakat pada tulisan al-Qur’an. Hal ini diperkuat dengan adanya seruan dari sahabat ‘Abdullah bin Mas’ud:
"Murnikanlah al-Qur’an dan jangan mencampur baurkannya dengan apapun."
Alqur'an pada mulanya ditulis tanpa titik dan harkat seperti yang kita lihat sekarang ini. Hal ini terus berlangsung hingga imperium Islam terus meluas ke berbagai wilayah di sekitar jazirah Arab. Setelah Islam menyebar diberbagai wilayah orang-orang Islam non-arab ('ajamy) merasa kesulitan untuk membaca Alqur'an yang pada waktu itu masih masih 'kosong'. Tentu saja kesulitan ini memaksa para pemimpin untuk mencari solusi guna menjaga keutuhan Alqur'an.
Abu al-Aswad al-Dualy (w. 69 H/ 688 M) adalah orang yang membuat harokat al quran, awalnya beliau mendengar orang membaca ayat
Lam kalimat رسولِهِ dibaca kasroh yang berarti Allah berlepas diri dari orang-orang musyrik dan Rasulnya.
Harkat yang diciptakan oleh Abu al-Aswad ini lalu disempurnakan Imam Kholil bin Ahmad al-Bashry pada masa dinasti Abbasiyah, hingga menjadi bentuk harkat seperti yang ada sekarang. Adapun titik yang terdapat pada huruf ba', ta', tsa', jim, ha', kha', dzal, za', dan lainnya, itu terjadi pada masa khalifah Abdul Malik bin Marwan Saat itu beliau memerintahkan gubernurnya di Irak yang bernama Hajjaj bin Yusuf. Hajjaj bin Yusuf lalu menyuruh Nashr bin Ashim dan Yahya bin Ya'mur untuk merealisasikan keinginan khalifah Abdul Malik bin Marwan tersebut. Dalam penulisan titik huruf tersebut, Nashr bin Ashim menggunakan tinta yang warnanya sama dengan tinta yang digunakan untuk menulis mushaf, agar tidak serupa dengan titik tanda harkat yang digunakan oleh Abu al-Aswad al-Dualy
Sejak saat itulah dalam mushaf Alqur'an sudah ada titik huruf dan titik harkat. Titik yang diciptakan oleh Abu al-Aswad disebut Titik I'rab, sedangkan titik yang diletakkan oleh Nashr bin Ashim disebut Titik Huruf.
DAFTAR PUSTAKA
1. Al-Qur’an al-Karim
2. al-Qaththan Manna’, 1999. Mabahits fi ‘Ulumil Qur’an, juz 5. Bairut: Penerbit Ar-Risalah.
3. Azzarqani, Abdul Azhim, Manahilul Irfan fi Uluumil Qur’an, I&II Isa al-Babib al-Halaby, Mesir.
4. Ibnu Hajar, Ahmad bin Ali, 1407H, Fathul Bari, al Maktabah Assalafiah, Kairo
Ditinjau dari segi Etimologi Al-Qur’an berarti "bacaan".Kata Al-Qur’an adalah bentuk kata benda (masdar) dari kata kerja qara'a yang artinya membaca.
Secara Terminologis adalah : Wahyu yang diturunkan kepada Rasulullah, merupakan mu’jizat terbesar beliau, lafal dan maknanya dari Allah SWT, dan merupakan ibadah bagi yang membacanya.
Proses Turunnya Al-Qur’an
Allah subhanahu wata’ala telah memuliakan kitab suci al-Qur’an dengan menurunkan al-Qur’an melalui 2 tahapan:
1. Al-Qur’an diturunkan secara utuh
Pada tahap pertama, al-Qur’an diturunkan secara utuh ke Baitul Izzah (rumah kemuliaan) yang berada di langit dunia pada bulan romadhon. Hikmah diturunkannya al-Qur’an ke langit dunia adalah untuk menunjukkan keagungan al-Qur’an dan kemuliaan Nabi yang diberikan wahyu berupa al-Qur’an. Selain itu hal tersebut dimaksudkan agar penghuni langit mengetahui bahwa al-Qur’an adalah kitab suci terakhir yang diturunkan kepada Nabi terakhir dan ditujukan bagi umat yang paling mulia.
2. Al-Qur’an diturunkan sedikit demi sedikit
Setelah al-Qur’an diturunkan ke langit dunia, secara berangsur al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad melalui Malaikat Jibril dimulai saat Nabi Muhammad diangkat menjadi Rasul sampai beliau wafat.
Dua tahapan turunnya al-Qur’an ini dijelaskan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Athiyah bin al-Aswad, ia bertanya pada Ibnu Abbas; “Dalam hatiku terdapat keraguan mengenai firman Allah:
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ
“Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan Al Quran.” (QS. Al-Baqoroh : 185).
dan Firman-Nya,
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ
“Kami menurunkan al-Qur’an pada lailatul qodar.” (QS. Al-Qodr : 1)
padahal al-Qur’an terkadang turun pada bulan Syawal, Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharam, Shafar, dan Ar-rabi’?” Ibnu Abbas menjawab, ”Bahwa al-Quran itu diturunkan pada bulan Ramadhan pada malam Lailah al-Qadar secara sekaligus, kemudian diturunkan lagi berdasarkan masa turunnya bagian-bagian bintang secara berangsur pada beberapa bulan dan hari.” (Al-Asmaa wa ash-Shifaat, no. 487)
Diantara hikmah diturunkannya al-Qur’an sedikit demi sedikit dan tidak secara utuh sebagaimana kitab - kitab suci sebelumnya adalah:
• Untuk menetapkan dan menguatkan hati Nabi Muhammad.
Firman allah dalam surat al furqan ayat 32
وَقَالَ الَّذِينَ كَفَرُوا لَوْلَا نُزِّلَ عَلَيْهِ الْقُرْآنُ جُمْلَةً وَاحِدَةً كَذَلِكَ لِنُثَبِّتَ بِهِ فُؤَادَكَ وَرَتَّلْنَاهُ تَرْتِيلًا
Berkatalah orang-orang yang kafir: "Mengapa Al Quran itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja?"; demikianlah supaya Kami perkuat hatimu dengannya dan Kami membacanya secara tartil (teratur dan benar).
• Mendidik umat Islam agar terbiasa mengamalkan ilmu yang telah didapatkan, sedikit demi sedikit.
• Turunnya wahyu mengikuti keadaan.
Jam’ul Qur’an
Jam’ul Qur’an (Pengumpulan Al–Qur’an) oleh para ulama diartikan menjadi dua makna:
1. Pengumpulan dalam arti Hifzuhu (menghafal dalam hati)
Firman allah dalam surat al qiyamah ayat 17
إِنَّ عَلَيْنَا جَمْعَهُ وَقُرْآنَهُ
Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya.
Sahabat yang terkenal dalam bidang hafalan Qur’an (hafidz) ada 7 orang, yaitu: Abdullah bin Mas’ud, Salim bin Mua’qqil, Muadz bin Jabal, Ubay Bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abu Zaid bin Sukun, dan Abu Darda’.
2. Pengumpulan dalam arti Kitabatuhu kullihi (penulisan Al–qur’an keseluruhan)
Pengumpulan Al-qur’andalam arti ini terdiri tiga periode, yaitu
1. Masa Rasulullah SAW,
2. Masa Khalifah Abu Bakar dan Masa
3. Khalifah Utsman Bin Affan.
1. Pengumpulan pada Masa Rasulullah SAW.
Rasulullah telah mengangkat para sahabat sebagai penulis wahyu. Diantara mereka adalah ‘Ali, Muawiyah, Ubay Bin Ka’ab dan Zaid Bin Tsabit. Bila turun ayat, Rasulullah memerintahkan mereka untuk menuliskannya dan menunjukkan tempat ayat tersebut dalam suatu surat. Hal itu sesuai dengan anjuran Jibril ‘alaihissalam. Para sahabat menuliskannya pada pelepah kurma, lempengan batu, daun lontar, kulit atau daun, pelana atau potongan tulang binatang. Karena keterbatasan media, sehingga pada masa itu Al–qur’an belum rapi dan belum berbentuk mushaf.
Zaid bin Tsabit mengisahkan;
كُنَّا عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نُؤَلِّفُ القُرْآنَ مِنَ الرِّقَاعِ
“Kita berada di samping Rasulullah SAW menyusun al-Qur’an dari riqo’ (Beberapa kertas, kulit atau daun).” (Sunan Turmudzi, no. 3954).
Utsman mengisahkan bahwa ketika turun wahyu kepada Rasulullah, maka beliau akan memanggil sebagian orang yang bisa menulis, kemudian beliau memberi petunjuk dengan mengatakan:
ضَعْ هَذِهِ الآيَةَ فِي السُّورَةِ الَّتِي يُذْكَرُ فِيهَا، كَذَا وَكَذَا.
“Letakkanlah ayat ini pada surat yang dijelaskan begini dan begini.” (Sunan Abu Dawud, no. 786)
Pada masa ini al-Qur’an belum belum dibukukan dengan urutan surat dan ayat seperti mushaf al-Qur’an yang kita pakai. Hal ini dikarenakan saat beliau masih hidup masih dimungkingkan terjadinya nasykh (penghapusan bacaan atau hukum) dalam al-Qur’an.
2. Pengumpulan pada Masa Khalifah Abu Bakar
Penulisan Al–qur’an pada masa Abu Bakar adalah dalam rangka menjaga keutuhan Al–qur’an agar tidak hilang, seiring dengan banyaknya para penghafal Al–qur’an yang syahid di medan perang.
Abu Bakar menjadi khalifah pertama sepeninggal Rasulullah SAW. Ia dihadapkan pada peristiwa–peristiwa berkenaan dengan kemurtadan sebagian orang Arab. Karena itu ia segera menyiapkan pasukan dan mengirimkannya untuk memerangi orang yang murtad itu. Perang Yamamah terjadi pada tahun ke 12 hijriah melibatkan sejumlah besar penghafal Al–qur’an. Dalam peperangan ini sejumlah 70 penghafal Al–qur’an gugur.
Dengan kejadian tesebut, Umar bin Kahattab merasa khawatir jika peperangan di tempat lain akan membunuh banyak penghafal Al–qur’an. Ia lalu menghadap kepada Abu Bakar untuk mengajukan usul agar mengumpulkan dan membukukan Al–qur’an, karena dikhawatirkan akan musnah.
Abu Bakar menolak usulan ini karena tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah. Tatapi Umar tetap membujuknya, sehingga Allah SWT membuka hati Abu Bakar untuk menerima usdulan tersebut. Kemudian Abu Bakar memerintahkan Zaid bin Tsabit untuk melakukan tugas tersebut. Pada awalnya Zaid menolak, keduanya bertukar pendapat sampai akhirnya Zaid dapat menerima dengan lapang dada perintah penulisan itu. Zaid memulai tugas beratnya dengan bersandar pada hafalan yang ada dalam hati para penghafal dan catatan yang ada pada penulis. Kemudian lembaran–lembaran tersebut disimpan oleh Abu Bakar. Setelah Abu Bakar wafat pada tahun 13 Hijriah, kemudian berpindah ke tangan Umar hingga ia wafat. Kemudian berpindah ke tangan Hafsah, putri Umar.
3. Pengumpulan pada Masa Khalifah Utsman bin ‘Affan
Penulisan pada masa Usman terjadi pada tahun 25 Hijriah. Penulisan pada masa ini adalah dalam rangka menyatukan berbagai macam perbedaan bacaan yang beredar di masyarakat saat itu. Ketika terjadi perang Armenia dan zarbaijan dengan penduduk Irak, di antara orang yang ikut menyerbu kedua tempat itu ialah Huzaifah bin Yaman. Ia melihat banyak perbedaan dalam cara–cara membaca Al–qur’an. Sebagian bacaan itu bercampur dengan kesalahan, tetapi masing–masing mempertahankan dan berpegang pada bacaannya, serta menentang setiap orang yang menyalahi bacaannya dan bahkan mereka saling mengkafirkan. Melihat kenyataan demikian Huzaifah segera menghadap Utsman dan melaporkan kepadanya apa yang dilihatnya.
Dengan keadaan demikian, Utsman pun khawatir bahwa akan adanya perbedaan bacaan pada anak–anak nantinya. Para sahabat memprihatinkan kenyataan karena takut kalau ada penyimpangan dan perubahan. Mereka bersepakat untuk menyalin lembaran–lembaran pertama yang ada pada Abu Bakar dan menyatukan umat Islam pada lembaran–lembaran itu dengan bacaan yang tetap pada satu huruf.
Utsman kemudian mengirimkan utusan kepada Hafsah untuk meminjam mushaf yang ada padanya. Kemudian Utsman membentuk panitia yang beranggotakan Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Sa’id bin ‘As, dan Abdurrahman bin Haris bin Hisyam, ketiga orang terakhir adalah suku Quraisy. Lalu memerintahkan mereka untuk memperbanyak mushaf. Nasehat Utsman kepada mereka:
1. Mengambil pedoman kepada bacaan mereka yang hafal Al–qur’an
2. Jika ada perselisihan di antara mereka tentang bahasa (bacaan), maka haruslah dituliskan dalam dialek suku Quraisy, sebab Al–qur’an diturunkan menurut dialek mereka .
إِذَا اخْتَلَفْتُمْ أَنْتُمْ وزَيْد بْنُ ثَابِتٍ فِي شَيْءٍ مِنَ الْقُرْآنِ ، فَاكْتُبُوهُ بِلِسَانِ قُرَيْشٍ ، فَإِنَّمَا نَزَلَ بِلِسَانِهِمْ
Artinya : Jika kalian berbeda bacaan dengan Zaid Ibn Tsabit pada sebagian ayat Al-Qur’an, maka tuliskanlah dengan dialek Quraisy, karena Al-Qur’an diturunkan dengan dialek tersebut
Mereka melaksanakan perintah tersebut. Setelah mereka selesai menyalinnya menjadi beberapa mushaf, Utsman mengembalikan lembaran asli kepada Hafsah. Al–qur’an yang telah dibukua dinamai dengan “Al – Mushaf”, dan panitia membuat lima buah mushaf. Empat di antaranya dikirimkan ke Mekah, Syria, Basrah dan Kufah, agar di tempat – tepat itu disalin pula, dan satu buah ditinggalkan di Madinah, untuk Utsman sendiri, dan itulah yang dinamai Mushaf “Al–Imam”, dan memerintahkan agar semua Al–qur’an atau mushaf yang ada dibakar.
Dengan demikian, dibukukannya Al–qur’an di masa Utsman manfaatnya yang utama adalah:
1. menyatukan kaum muslimin pada satu macam mushaf yang seragam ejaan dan tulisannya.
2. menyatukan bacaan, dan kendatipun masih ada kelainan bacaan, tetapi tidak tidak bertentangan dengan ejaan mushaf–mushaf Utsman.
3. menyatukan tertib susunan surat–surat.
Pemberian Titik Dan Harokat Pada Alquran
al-Qur’an yang telah dikodifikasi mulai dari nabi Muhammad sampai masa Khalifah Utsman bin ‘Affan ditulis dengan menggunakan tanpa titik ataupun tanda baca yang dapat membedakan antara satu huruf dengan huruf lainnya. Pun demikian generasi awal Islam ini, jarang terjadi kesalahan dalam pengucapan bahasa Arab maupun dalam membaca al-Qur’an. Dan juga belum terpikirkan oleh para sahabat untuk menambahkan titik dan harakat pada tulisan al-Qur’an. Hal ini diperkuat dengan adanya seruan dari sahabat ‘Abdullah bin Mas’ud:
جرّدوا القران ولا تخلطوه بشئ
"Murnikanlah al-Qur’an dan jangan mencampur baurkannya dengan apapun."
Alqur'an pada mulanya ditulis tanpa titik dan harkat seperti yang kita lihat sekarang ini. Hal ini terus berlangsung hingga imperium Islam terus meluas ke berbagai wilayah di sekitar jazirah Arab. Setelah Islam menyebar diberbagai wilayah orang-orang Islam non-arab ('ajamy) merasa kesulitan untuk membaca Alqur'an yang pada waktu itu masih masih 'kosong'. Tentu saja kesulitan ini memaksa para pemimpin untuk mencari solusi guna menjaga keutuhan Alqur'an.
Abu al-Aswad al-Dualy (w. 69 H/ 688 M) adalah orang yang membuat harokat al quran, awalnya beliau mendengar orang membaca ayat
أَنَّ اللَّهَ بَرِيءٌ مِنَ الْمُشْرِكِينَ وَرَسُولُهُ
Lam kalimat رسولِهِ dibaca kasroh yang berarti Allah berlepas diri dari orang-orang musyrik dan Rasulnya.
Harkat yang diciptakan oleh Abu al-Aswad ini lalu disempurnakan Imam Kholil bin Ahmad al-Bashry pada masa dinasti Abbasiyah, hingga menjadi bentuk harkat seperti yang ada sekarang. Adapun titik yang terdapat pada huruf ba', ta', tsa', jim, ha', kha', dzal, za', dan lainnya, itu terjadi pada masa khalifah Abdul Malik bin Marwan Saat itu beliau memerintahkan gubernurnya di Irak yang bernama Hajjaj bin Yusuf. Hajjaj bin Yusuf lalu menyuruh Nashr bin Ashim dan Yahya bin Ya'mur untuk merealisasikan keinginan khalifah Abdul Malik bin Marwan tersebut. Dalam penulisan titik huruf tersebut, Nashr bin Ashim menggunakan tinta yang warnanya sama dengan tinta yang digunakan untuk menulis mushaf, agar tidak serupa dengan titik tanda harkat yang digunakan oleh Abu al-Aswad al-Dualy
Sejak saat itulah dalam mushaf Alqur'an sudah ada titik huruf dan titik harkat. Titik yang diciptakan oleh Abu al-Aswad disebut Titik I'rab, sedangkan titik yang diletakkan oleh Nashr bin Ashim disebut Titik Huruf.
DAFTAR PUSTAKA
1. Al-Qur’an al-Karim
2. al-Qaththan Manna’, 1999. Mabahits fi ‘Ulumil Qur’an, juz 5. Bairut: Penerbit Ar-Risalah.
3. Azzarqani, Abdul Azhim, Manahilul Irfan fi Uluumil Qur’an, I&II Isa al-Babib al-Halaby, Mesir.
4. Ibnu Hajar, Ahmad bin Ali, 1407H, Fathul Bari, al Maktabah Assalafiah, Kairo