Perawatan Tubuh; Anjuran & Batasannya Dalam Syari’at Islam

Posted by Unknown Selasa, 23 September 2014 2 komentar
Pendahuluan

Secara umum merawat tubuh agar penampilan menjadi menarik adalah hal yang dianjurkan oleh agama, namun ajaran agama tetap memberikan tuntunan mengenai cara berhias dan juga memberikan  batasan-batasan dalam agar hal tersebut tidak merubah penciptaan Allah, tidak keluar dari sunnatullah dan agar seorang muslim tidak menyerupai orang-orang yang dimurkai Allah.

Dalam artikel ini akan kami uraikan secara singkat mengenai sebagian hukum-hukum agama seputar perawatan tubuh yang bertujuan untuk memperindah penampilan agar menjadikan acuan bagi setiap muslim dalam berhias.

A. Perawatan Rambut

1. Anjuran merawat rambut
Merawat rambut dengan cara menyisir dan memakai minyak rambut hukumnya sunat, namun hal tersebut hendaknya dilakukan sebatas kebutuhan dan tidak dilakukan secara berlebihan  . Para ulama’ menyatakan bahwa terlalu menyibukkan diri dengan urusan menyisir rambut hukumnya makruh, sebab hal tersebut merupakan sikap bermewah-mewahan yang dilarang agama dan juga kebiasan orang-orang yang cinta dunia (hubbud dunya)  .

2. Menyemir rambut

Menyemir uban hukumnya sunah asalkan yang dipakai bukan semir yang berwarna hitam  , jika yang dipakai adalah warna merah maka hukumnya haram kecuali bagi orang yang sedang berperang. Mayoritas ulama’ menyatakan bahwa keharaman menyemir dengan warna hitam ini berlaku bagi laki-laki dan perempuan, namun menurut sebagian ulama’ lainnya diperbolehkan bagi seorang wanita untuk menyemir rambut dengan warna hitam asalkan dilakukan dilakukan untuk berhias diri didepan suaminya  .

3. Mencabut Uban

Mencabut uban, baik uban yang ada pada rambut maupun jenggot, bahkan menurut sebagian ulama’ hukumnya haram  .

4. Mencukur habis rambut

Pada dasarnya mencukur habis rambut hukumnya diperbolehkan, dan hukum ini berubah tergantung keadaan orangnya, apabila seseorang kesulitan merawat rambutnya disunahkan untuk digunduli, dan apabila ia tidak kesulitan maka disunahkan untuk membiarkannya  .

5. Memanjangkan rambut bagi lelaki

Memanjangkan rambut bagi lelaki hukumnya diperbolehkan, sebab Rasulullah sendiri rambutnya panjang sampai telinga dan terkadang sampai bahu  . Hanya saja, karena hal – hal seperti ini termasuk dalam kategori sunan ‘adah (segala sesuatu yang dikerjakan nabi karena merupakan kebiasaan orang arab dimasa itu), maka hal ini boleh dikerjakan dan juga ditinggalkan.

Diperbolehkannya memanjangkan rambut bagi laki–laki asal  tidak dilakukan dengan cara yang menyerupai wanita atau kebiasaan orang – orang fasiq, jadi apabila menyerupai wanita atau orang – orang fasiq maka tidak diperbolehkan.

6. Mencukur sebagian rambut (Qoza’)

Para ulama’ telah sepakat mengenai kemakruhan qoza’, yaitu mencukur sebagian rambut dan membiarkan rambut dibagian lainnya  . Alasan pelarangan qoza’ adalah karena tindakan ini akan memperburuk penampilan, dan hal ini merupakan kebiasaan orang-orang fasik dan kaum yahudi  .

7. Menyambung rambut

Hukum menyambung rambut diperinci sebagai berikut :

a) Apabila yang dipakai untuk menyambung rambut berupa rambut manusia maka semua ulama’ sepakat mengenai keharamannya, baik yang dipakai adalah rambut laki-laki atau wanita, dan baik yang dipakai rambut orang yang masih memiliki hubungan mahrom atau tidak.

b) Apabila yang dipakai bukan rambut manusia, maka :

• Jika yang digunakan adalah rambut yang najis, yaitu rambut bangkai atau rambut hewan yang tidak boleh dikonsumsi ketika terpisah dari tubuhnya, maka hukumnya juga haram.

 Dua ketentuan hukum diatas berlaku secara umum bagi laki-laki maupun wanita, baik sudah menikah atau masih belum menikah.

• Jika yang digunakan adalah rambut yang suci dari selain manusia, maka apabila wanita yang melakukannya belum menikah, maka hukumnya juga haram, sedangkan apabila ia telah menikah, maka ia boleh menyambung rambutnya dengan seizin suaminya, dan jika ia melakukannya tanpa mendapat izin suaminya maka hukumnya haram  .

c) Apabila yang dipakai untuk menyambung rambut berupa benang atau benda-benda lain yang tidak menyerupai rambut maka hukumnya diperbolehkan  .

B. Perawatan Wajah

1. Memakai Celak

Memakai celak pada mata hukumnya sunah, dan disunahkan untuk dilakukan tiga kali pada mata kanan dan mata kiri, dan disunahkan untuk menggunakan celak itsmid  . Secara khusus disunahkan memakai celak sebelum tidur, diantara manfaatnya adalah untuk mempertajam penglihatan  .

2. Mencukur Alis

Mencukur bulu alis merupakan satu tindakan yang diharakan dalam agama, hanya saja bagi wanita yang telah bersuami diperbolehkan melakukannya jika mendapat izin dari suaminya dengan tujuan mempercantik penampilan didepan suaminya  .

3. Memangkas Kumis

Memangkas kumis hukumnya sunah, sedangkan batasan kumis yang disunahkan untuk dipangkas adalah sampai terlihat bibir bagian atas yang tertutup kumis  .

4. Mencukur Jenggot
Para ulama’ berbeda pendapat mengenai hukum mencukur jenggot, sebagain menyatakan bahwa hukumnya makruh, dan sebagian lainnya menyatakan bahwa hukumnya haram  .

Sedangkan apabila tumbuh kumis, jenggot dan bulu dibawah bibir pada wanita, maka diperbolehkan mencukur dan membersihkannya, bahkan hal tersebut disunahkan, dan hal ini tidak termasuk dalam namsh (mencukur bulu wajah) yang dilarang  .

C. Perawatan Kuku

1. Memotong Kuku

Para ulama' sepakat bahwa memotong kuku yang melebihi ujung jari hukumnya sunat bagi laki-laki dan perempuan, baik kuku kaki atau tangan. Sedangkan waktu pemotongan  kuku adalah ketika kuku sudah panjang, selain itu disunahkan pula untuk memotong kuku seminggu sekali dan dikerkajan pada hari jum’at, senin atau kamis. Dan hendaknya kuku dipotong sebelum 40 hari.

Mengenai cara memotong kuku, untuk kuku tangan dimulai dari jari telunjuk tangan kanan berurutan sampai kelingking lalu ibu jari, setelah itu untuk jari-jari tangan kanan dimulai dari jari kelingking sampai ibu jari. Sedangkan untuk kaki dimulai dari kari kelingking kaki kanan sampai jari kelingking kaki kiri  .

2. Mengubur Potongan Kuku

Kuku yang telah terpotong disunahkan untuk dikuburkan, karena potongan kuku dan rambut tersebut adalah bagian dari tubuh manusia, sebagaimana manusia yang telah mati dimuliakan dengan dikuburkan mayitnya begitu juga bagian tubuh yang terpisah juga dimuliakan dengan cara dikuburkan  . Tujuan lain dari mengubur kuku adalah agar kuku yang terpotong tersebut tidak dimanfaatkan oleh para penyihir untuk mencelakakan manusia  .

3. Mengecat Kuku

Mengecat kuku merupakan salah satu cara wanita untuk memperindah penampilan, dan hal ini boleh-boleh saja, namun hendaknya tidak mengecat kuku dengan cat buku yang dapat menghalangi sampainya air pada kuku, sebab kuku adalah bagian tubuh yang wajib dibasuh ketika wudhu dan mandi besar  . 

AL-QUR'AN & SAINS; MENGGALI ILMU PENGETAHUAN DARI AL-QUR’AN

Posted by Unknown Rabu, 17 September 2014 0 komentar
Pendahuluan
Dalam banyak ayat, Allah memerintahkan manusia untuk berpikir mengenai hal-hal yang akan menambahkan keimanan seorang muslim. seperti berpikir tentang penciptaan manusia dan alam semesta. Allah berfirman:

وَفِي أَنْفُسِكُمْ أَفَلَا تُبْصِرُونَ

“Dan pada dirimu sendiri, maka apakah kamu tidak memperhatikan?” (QS. Adz-Dzariyat : 21).

أَوَلَمْ يَنْظُرُوا فِي مَلَكُوتِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَا خَلَقَ اللَّهُ مِنْ شَيْءٍ وَأَنْ عَسَى أَنْ يَكُونَ قَدِ اقْتَرَبَ أَجَلُهُمْ فَبِأَيِّ حَدِيثٍ بَعْدَهُ يُؤْمِنُونَ

“Dan Apakah mereka tidak memperhatikan kerajaan langit dan bumi dan segala sesuatu yang diciptakan Allah, dan kemungkinan telah dekatnya kebinasaan mereka?” (QS. Al-A’rof : 185).

سَنُرِيهِمْ آيَاتِنَا فِي الْآفَاقِ وَفِي أَنْفُسِهِمْ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُ الْحَقُّ

“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al Quran itu adalah benar.” (QS. Fushshilat : 53).

Selain itu, dalam satu ayat, Allah telah menjelaskan bahwa Al-Qur’an diturunkan untuk menjelaskan semua hal, sebagaimana firman-Nya:

وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَى لِلْمُسْلِمِينَ

“Dan Kami turunkan kepadamu Al kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.” (QS. An-Nahl : 89).

Syekh Al-Mursi mengatakan bahwa Al-Qur'an mencakup ilmu-ilmu umat terdahulu dan yang akan datang kemudian, hingga tak ada satupun ilmu kecuali telah disinggung dalam Al-Qur'an... diantaranya adalah ilmu kedokteran, ilmu bumi, ilmu arsitektur, matematika, ilmu astronomi, dll. 

Karena itulah, sudah sepatutnya bagi umat islam untuk terus menggali kandungan-kandungan ilmu dalam kitab suci Al-Qur’an yang menjadi pegangan utama dan juga sumber ilmu bagi kaum muslimin.

1. Proses Penciptaan Manusia

إِنَّا خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ مِنْ نُطْفَةٍ أَمْشَاجٍ نَبْتَلِيهِ فَجَعَلْنَاهُ سَمِيعًا بَصِيرًا

“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur” (QS. Al-Insan : 2)

وَلَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ مِنْ سُلَالَةٍ مِنْ طِينٍ (12) ثُمَّ جَعَلْنَاهُ نُطْفَةً فِي قَرَارٍ مَكِينٍ (13) ثُمَّ خَلَقْنَا النُّطْفَةَ عَلَقَةً فَخَلَقْنَا الْعَلَقَةَ مُضْغَةً فَخَلَقْنَا الْمُضْغَةَ عِظَامًا فَكَسَوْنَا الْعِظَامَ لَحْمًا ثُمَّ أَنْشَأْنَاهُ خَلْقًا آخَرَ فَتَبَارَكَ اللَّهُ أَحْسَنُ الْخَالِقِينَ (14)

“Dan Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. kemudian Kami jadikan Dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta yang paling baik.” (QS. Al-Mu’minun : 12 - 14).

الَّذِي أَحْسَنَ كُلَّ شَيْءٍ خَلَقَهُ وَبَدَأَ خَلْقَ الْإِنْسَانِ مِنْ طِينٍ (7) ثُمَّ جَعَلَ نَسْلَهُ مِنْ سُلَالَةٍ مِنْ مَاءٍ مَهِينٍ (8) ثُمَّ سَوَّاهُ وَنَفَخَ فِيهِ مِنْ رُوحِهِ وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَالْأَفْئِدَةَ قَلِيلًا مَا تَشْكُرُونَ (9)

“Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan yang memulai penciptaan manusia dari tanah. Kemudian Dia menjadikan keturunannya dari saripati air yang hina. Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalamnya roh (ciptaan)-Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur.” (QS. As-Sajdah : 7 - 9).

Tahapan Proses Terciptanya Manusia:
- Bercampurnya mani.                             -  Segumpal daging.                             - Pembentukan bayi.
- Segumpal darah.                                    -  Tumbuhnya tulang.                          -  Peniupan ruh  .

Menurut Dr. Moore, ilustrasi tentang fetus (embrio yang telah berkembang) di dalam uretus (peranakan) baru mun¬cul pertama kali pada abad ke-15 M oleh Leonardo da Vinci. Padahal jauh sebe¬lum itu, pada abad ke-2, Gallen pernah menggambarkan ihwal plasenta dan selaput-selaput janin dalam buku On the Formation of the Foetus, namun jauh berbeda dengan yang diuraikan pada abad ke-7 M. Kala itu para ahli kedok¬ter¬an telah mengetahui bahwa embrio manusia berkembang dalam uterus. Te¬tapi tidak seorang pun yang mengetahui bahwa perkembangan tersebut berlang¬sung secara bertahap. Malah pada abad ke-15 pun belum didiskusikan, apalagi di-gambarkan. Setelah mikroskop di¬temu¬kan oleh Leeuwenhook pada abad ke-11, barulah uraian tentang tahapan-tahapan permulaan embrio ayam mulai diselidiki para ahli. Pengetahuan mengenai pentahapan embrio manusia tidak terbayangkan hing¬ga abad ke-20 ketika Streetes (1941) dan O’Rahilly (1972) pertama kali mengembangkan sistem pentahapan  .

2. Penggantian Kulit Yang Terbakar

إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا بِآيَاتِنَا سَوْفَ نُصْلِيهِمْ نَارًا كُلَّمَا نَضِجَتْ جُلُودُهُمْ بَدَّلْنَاهُمْ جُلُودًا غَيْرَهَا لِيَذُوقُوا الْعَذَابَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَزِيزًا حَكِيمًا

“Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada ayat-ayat Kami, kelak akan Kami masukkan mereka ke dalam neraka. Setiap kali kulit mereka hangus, Kami ganti kulit mereka dengan kulit yang lain, supaya mereka merasakan azab. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. An-Nisa’ : 56)

Keith Moore, seorang ahli Embriologi terkemuka dari Kanada menjelaskan bahwa luka bakar yang cukup dalam tidak menimbulkan sakit karena ujung-ujung syaraf sensorik sudah hilang. Ditinjau secara anatomi lapisan kulit kita terdiri atas 3 lapisan global yaitu; Epidermis, Dermis, dan Sub Cutis. Pada lapisan Sub Cutis banyak mengandung ujung-ujung pembuluh darah dan syaraf. Pada saat terjadi Combustio grade III (luka bakar yang telah menembus sub cutis) salah satu tandanya yaitu hilangnya rasa nyeri dari pasien. Hal ini disebabkan karena sudah tidak berfungsinya ujung-ujung serabut syaraf afferent dan efferent yang mengatur sensasi persefsi. Itulah sebabnya Allah menumbuhkan kembali kulit yang rusak pada saat ia menyiksa hambaNya yang kafir supaya hambaNya tersebut dapat merasakan pedihnya azab Allah tersebut  .

3. Awal Penciptaan Langit dan Bumi

أَوَلَمْ يَرَ الَّذِينَ كَفَرُوا أَنَّ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ كَانَتَا رَتْقًا فَفَتَقْنَاهُمَا وَجَعَلْنَا مِنَ الْمَاءِ كُلَّ شَيْءٍ حَيٍّ أَفَلَا يُؤْمِنُونَ

“Dan Apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya. dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka Mengapakah mereka tiada juga beriman?” (QS. Al-Anbiya’ : 30).

Pemisahan alam semesta ini secara ilmiah dikenal dengan "teori big bang (ledakan dahsyat)". Teori ini secara bertahap dikembangkan oleh Vesto Slipher (tahun 1912),  Alexander Friedmann (tahun 1921), Edwin Hubble (tahun 1924), dan Lemaître (tahun 1931). Istilah "Big Bang" dicetuskan oleh Fred Hoyle dalam suatu siaran radio BBC pada bulan Maret 1949 

Menurut teori ini, alam semesta yang kita huni berawal dari sebuah ledakan raksasa yang terkenal dengan istilah "Dentuman Besar (Big Bang)" dan mengembang hingga menjadi bentuk dan dimensinya seperti ini. Atom-atom yang terpencar "secara acak" berkumpul pada tempat-tempat tertentu dan bergabung membentuk bintang-bintang, berbagai tata surya, dan galaksi. Seorang ahli astrofisika bernama Alan Sandage mengatakan: "Saya menganggapnya sangat tidak mungkin keteraturan semacam ini muncul dari kekacauan. Pastilah ada sebentuk prinsip pengorganisasian. Tuhan, bagiku merupakan penjelasan bagi keajaiban ini." 

4. Perluasan/Mengembangnya Alam Semesta

وَالسَّمَاءَ بَنَيْنَاهَا بِأَيْدٍ وَإِنَّا لَمُوسِعُونَ

“Dan langit itu Kami bangun dengan kekuasaan (Kami) dan Sesungguhnya Kami benar-benar berkuasa.”  (QS. Adz-Dzariyat : 47)

Pada awal abad ke-20, fisikawan Rusia, Alexander Friedmann, dan ahli kosmologi Belgia, George Lemaitre, secara teoritis menghitung dan menemukan bahwa alam semesta senantiasa bergerak dan mengembang. Fakta ini dibuktikan juga dengan menggunakan data pengamatan pada tahun 1929. Ketika mengamati langit dengan teleskop, Edwin Hubble, seorang astronom Amerika, menemukan bahwa bintang-bintang dan galaksi terus bergerak saling menjauhi. Sebuah alam semesta, di mana segala sesuatunya terus bergerak menjauhi satu sama lain, berarti bahwa alam semesta tersebut terus-menerus "mengembang". Pengamatan yang dilakukan di tahun-tahun berikutnya memperkokoh fakta bahwa alam semesta terus mengembang  .

5. Pergerakan Lapisan Bumi Yang Ditahan Oleh Gunung

وَتَرَى الْجِبَالَ تَحْسَبُهَا جَامِدَةً وَهِيَ تَمُرُّ مَرَّ السَّحَابِ صُنْعَ اللَّهِ الَّذِي أَتْقَنَ كُلَّ شَيْءٍ إِنَّهُ خَبِيرٌ بِمَا تَفْعَلُونَ

“Dan kamu Lihat gunung-gunung itu, kamu sangka Dia tetap di tempatnya, Padahal ia berjalan sebagai jalannya awan. (Begitulah) perbuatan Allah yang membuat dengan kokoh tiap-tiap sesuatu; Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. An-Naml : 88).

Pergerakan lapisan bumi pertama kali dicetuskan oleh Alfred Wegener, ahli tektoik geofisika dan meteorologi Jerman, pada tahun 1921 dengan istilah "continental drift" (Pergerakan lempeng benua).  Teori ini kemudian dibuktikan dan dikukuhkan oleh pakar geologi AS bernama Harry Hess yang menemukan rangkaian gunung api di bawah samusera atlantik (mid ocean ridge) pada tahun 1953 dan dipublikasikan  pada tahun 1960. Disebutkan, semburan magma di sepanjang patahan di dasar laut, mendesak lempengen tektonik sejauh beberapa sentimeter per tahunnya  .

وَجَعَلْنَا فِي الْأَرْضِ رَوَاسِيَ أَنْ تَمِيدَ بِهِمْ وَجَعَلْنَا فِيهَا فِجَاجًا سُبُلًا لَعَلَّهُمْ يَهْتَدُونَ

“Dan telah Kami jadikan di bumi ini gunung-gunung yang kokoh supaya bumi itu (tidak) goncang bersama mereka.” (QS. Al-Anbiya’ : 31)

Gunung-gunung memaku lempengan ke kerak bumi bersama dengan meluaskan di atas dan di bawah permukaan bumi pada titik temu lempengan ini. Dengan cara ini, ia memakukan kerak bumi dan mencegahnya dari bergerak di atas lapisan magma, atau diantara lempeng-lempeng itu. Fungsi mematok dari gunung ini digambarkan dalam literatur ilmiah (geologi) dengan istilah "isotasi"  .

6. Pertemuan 2 Jenis Air

مَرَجَ الْبَحْرَيْنِ يَلْتَقِيَانِ (19) بَيْنَهُمَا بَرْزَخٌ لَا يَبْغِيَانِ (20

“Dia membiarkan dua lautan mengalir yang keduanya kemudian bertemu. Diantara keduanya ada batas yang tidak dilampaui masing-masing.” (QS. Ar-Rohman : 19 - 20)

وَهُوَ الَّذِي مَرَجَ الْبَحْرَيْنِ هَذَا عَذْبٌ فُرَاتٌ وَهَذَا مِلْحٌ أُجَاجٌ وَجَعَلَ بَيْنَهُمَا بَرْزَخًا وَحِجْرًا مَحْجُورًا

“Dan Dialah yang membiarkan dua laut yang mengalir (berdampingan); yang ini tawar lagi segar dan yang lain asin lagi pahit; dan Dia jadikan antara keduanya dinding dan batas yang menghalangi.” (QS. Al-Furqon : 53)

Seorang ahli kelautan bernama Jacques Yves Costeau melakukan penelitian di dasar laut untuk Discovery Channel. Ia menelurusi fenomena bawah laut di Cenota Angelita, Mexico. Saat melakukan penyelaman, ia dikejutkan dengan sebuah fenomena alam yang luar biasa. Dia menemukan air tawar di antara air laut yang asin. Penemuan itu membuatnya takjub.  Bagaimana mungkin air tawar bisa berada terpisah dalam air laut yang asin? Tetapi itulah kenyataan yang dia temukan di dalam laut.

Rasa ingin tahunya yang besar membuat Costeau kembali menyelam lebih dalam lagi. Ia menyaksikan fenomena alam yang lebih mengejutkan lagi. Betapa tidak. Ia melihat ada sungai di dasar lautan. Sungai di bawah laut itu ditumbuhi daun-daunan dan pohon. Para peneliti menyebut fenomena itu sebagai lapisan Hidrogen Sulfida  .

Referensi Untuk Menambah Wawasan

A. Situs-Situs Tentang Al-Qur'an & Sains:

1. Bahasa Indonesia
http://www.keajaibanalquran.com/
http://kaheel7.com/id/

2. Bahasa Arab
http://www.al-i3jaz.com/
http://www.kaheel7.com/ar/
http://quran-m.com/
http://www.eajaz.org/
http://fussilat.org/
 http://www.i3gaz.com/
http://www.elnaggarzr.com/

3. Bahasa Inggris
http://www.miraclesofthequran.com/
http://www.quranmiracles.com/
http://www.19miracle.org/
www.quranandscience.com

B.Buku-Buku Tentang Al-Qur'an & Sains:

1. Bahasa Indonesia
Buku-Buku Harun Yahya
(Bisa diakses disitusnya: http://id.harunyahya.com/)

2. Bahasa Arab
Tafsir Fakhrurrozi (32 jld), karya Imam Ar-Rozi
Tafsir Al-Jawahir (24 jld), karya Syekh Thonthowi Jauhari
Tafsir Al-Ayat Al-Kauniyah (4 jld), karya Dr. Zaghlul An-Najjar
Al-Mausu'ah Al-Kauniyah Al-Kubro (20 jld), karya Dr. Mahir Ahmad Ash-Shoufi

3. Bahasa Inggris:
The Bible, the Quran and Science, karya Dr. Maurice Bucaille (Diterjemahkan dari buku berbahasa perancis, La Bible, le Coran et la Science, yang terbit tahun 1976).

PELESTARIAN LINGKUNGAN DALAM ISLAM

Posted by Unknown 1 komentar
Islam adalah agama rahmatan lil ‘alamin yang memberikan tuntunan bagi pemeluknya dalam segala aspek kehidupan, bukan hanya tuntunan dalam hubungan antar manusia tapi juga tuntunan dalam berinteraksi dengan lingkungan. Dalam al-Qur’an dijelaskan bahwa manusia diposisikan sebagai seorang “Khalifah di bumi”, sebagaimana dituturkan dalam beberapa ayat, diantaranya dalam firman Allah:

وَهُوَ الَّذِي جَعَلَكُمْ خَلَائِفَ الْأَرْضِ

“Dan Dia lah yang menjadikan kalian sebagai para penguasa di bumi.” (QS. Al-An’am : 165)  .

Sebagai khalifah dibumi, manusia diberikan tanggung jawab untuk menjaga kelestarian lingkungan hidup dibumi. Yang dimaksud dengan dengan lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain .

Dalam artikel ini, akan diulas sedikit tentang beberapa tuntunan agama Islam yang ditetapkan untuk menjaga kelestarian lingkungan hidup agar kita mengetahui besarnya peran ajaran-ajaran agama islam dalam hal ini dan juga agar kita dapat mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari.

1. Anjuran Menjaga Kebersihan Lingkungan

Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda;

عُرِضَتْ عَلَيَّ أَعْمَالُ أُمَّتِي حَسَنُهَا وَسَيِّئُهَا فَوَجَدْتُ فِي مَحَاسِنِ أَعْمَالِهَا الْأَذَى يُمَاطُ عَنِ الطَّرِيقِ

"Semua amalan umatku ditampakkan kepadaku baik dan buruknya. Aku dapatkan di antara amal kebajikan adalah menghilangkan bahaya dari jalanan." (Shahih Muslim, no. 553).

Maksud kata أذى dalam hadits tersebut adalah segala hal yang membahayakan atau mengganggu orang yang lewat, baik itu berupa duri, batu, kotoran dan hal-hal lainnya, sebagaimana dijelaskan oleh Imam Nawawi  . Secara lebih luas hadits diatas bisa dipahami bahwa kita dianjurkan untuk menjaga lingkungan agar selalu bersih, terutama tempat-tempat yang biasa dilewati banyak orang.

2. Larangan Mencemari Lingkungan

Diantara adab seorang muslim ketika buang air adalah tidak melakukannya ditempat yang biasa dilewati orang dan ditempat yang biasanya digunakan untuk berteduh, berdasarkan hadits;

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «اتَّقُوا اللَّعَّانَيْنِ» قَالُوا: وَمَا اللَّعَّانَانِ يَا رَسُولَ اللهِ قَالَ: «الَّذِي يَتَخَلَّى فِي طَرِيقِ النَّاسِ أَوْ فِي ظِلِّهِمْ

"Dari Abu Hurairah, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Jauhilah dua perilaku terlaknat”, para sahabat bertanya, “Apa dua perkara terlaknat tersebut wahai Rasulullah?”, beliau menjawab, “buang kotoran di  jalan, dan di bawah naungan pohon." (Shahih Muslim, no. 269)  .

Imam Nawawi menjelaskan bahwa pelarangan buang air di tempat yang biasa dilewati orang dan dan ditempat yang digunakan tempat berkumpul tersebut dikarenakan hal tersebut akan mengganggu banyak orang, selain memungkin orang yang lewat atau berkumpul disitu terkena najis, juga terganggu dengan bau yang ditimbulkan dan menjijikkan  .  Berdasarkan hadits dapat dipahami bahwa kita dilarang mencemari lingkungan sekitar, terutama tempat-tempat yang biasa dilewati orang banyak atau dijadikan tempat berkumpul.

3. Anjuran Menanam Pohon

Dalam satu hadits diriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda;

مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَغْرِسُ غَرْسًا أَوْ يَزْرَعُ زَرْعًا فَيَأْكُلُ مِنْهُ طَيْرٌ أَوْ إِنْسَانٌ أَوْ بَهِيمَةٌ إِلَّا كَانَ لَهُ بِهِ صَدَقَةٌ

“Tidaklah seorang Muslim menanam tanaman atau menabur benih, lalu memakan dari hasil tanamannya ; burung, manusia atau binatang melainkan Allah mencatat dari apa yang telah dimakan tadi sebagai sedekah baginya.” (Shahih Bukhari no. 2195 dan Shahih Muslim no. 1553).

Imam Nawawi dalam kitab Syarah Shahih Muslim menuturkan bahwa hadits ini menjelaskan tentang keutamaan menanam pohon dan bercocok tanam, dan bahwasanya pahala orang yang mengerjakannya akan terus mengalir selama pohon dan tanaman tersebut masih hidup dan berkembang biak hingga hari kiamat.

Dalam Tafsir al-Munir dijelaskan bahwa penggunaan kata “memakan” bisa mencakup segala bentuk pemanfaatan  , jadi hadits diatas secara luas dapat diartikan “dimanfaatkan”, artinya orang yang menanam pohon akan mendapat pahala selama pohon tersebut masih dapat dimanfaatkan oleh makhluk hidup.

Begitu pentingnya hal ini, sampai para ulama’ menetapkan bahwa bercocok tanam dan menanam pohon hukumnya fardhu kifayah, dan pemerintah wajib memerintahkan rakyatnya untuk mengerjakannya, sebagaimana dituturkan oleh Imam Qurthubi dalam Tafsir-nya .

4. Larangan Menebang Pohon Sembarangan

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda;

مَنْ قَطَعَ سِدْرَةً صَوْبَ اللهُ رَأْسَهُ فِي النَّارِ

“Barangsiapa menebang pohon bidara maka Allah akan membenamkan kepalanya ke dalam api neraka.” (Sunan Abu Dawud, no. 5239)

Imam Abu Dawud ketika ditanya tentang maksud hadits diatas menjelaskan bahwa maksud dari hadits ini adalah barangsiapa menebang pohon bidara di padang sahara yang tandus dengan sia-sia & zhalim; padahal pohon itu adalah tempat untuk berteduh para musafir dan hewan-hewan ternak, maka Allah akan membenamkan kepalanya di neraka  .

Hadits diatas merupakan tuntutan bagi kita untuk menjaga kelestarian pepohonan yang memiliki manfaat besar bagi lingkungan, karena itu kita dilarang menebang pohon sembarangan kecuali dengan kadar dan perhitungan yang baik, dan sebisa mungkin menanam pohon lain sebagai penggantinya .

5. Larangan Berlebihan Dalam Menggunakan Air

Salah satu cara paling efektif untuk menjaga ketersediaan air adalah dengan cara menggunakan air secukupnya dan tak berlebihan dalam menggunakan air, sebab isrof (berlebihan) merupakan perilaku tercela, termasuk dalam menggunakan air. Allah berfirman;

وَلَا تُسْرِفُوا إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ

“Dan janganlah berlebih-lebihan, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (QS. Al-A’rof : 31)

Rasulullah bersabda;

سَيَكُونُ فِي هَذِهِ الْأُمَّةِ قَوْمٌ يَعْتَدُونَ فِي الطَّهُورِ وَالدُّعَاءِ

“Akan ada satu kaum dalam umat ini yang berlebihan dalam bersuci dan berdo’a.” (Sunan Abu Dawud, no. 96)

Semua ulama’ juga telah sepakat bahwa berlebihan dalam menggunakan air tidak diperbolehkan meskipun ia berada dipinggir laut, mereka mendasarkan pendapat tersebut pada hadits Nabi;

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِي أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرَّ بِسَعْدٍ وَهُوَ يَتَوَضَّأُ فَقَالَ: " مَا هَذَا السَّرَفُ يَا سَعْدُ " قَالَ: أَفِي الْوُضُوءِ سَرَفٌ قَالَ: " نَعَمْ وَإِنْ كُنْتَ عَلَى نَهْرٍ جَارٍ ".

“Dari Abdullah bin ‘Amrbin ‘Ash bahwasanya Rasulullah SAW berjalan melewati Sa'd yang sedang berwudhu' dan menegurnya, "Kenapa kamu boros memakai air?". Sa'ad balik bertanya, "Apakah untuk wudhu' pun tidak boleh boros?". Beliau SAW menjawab,"Ya, tidak boleh boros meski pun kamu berwudhu di sungai yang mengalir.” (Musnad Ahmad, no. 7065) .

6. Larangan Buang Air Ditempat Air Tergenang

Para fuqoha’ (pakar ilmu fiqih) dalam kitab-kitab fiqih karya mereka menjelaskan bahwa salah satu adab seorang muslim ketika buang air adalah tidak buang air ditempat air tergenag. Imam Nawawi menyatakan bahwa buang air (kencing dan berak) ditempat air tergenang hukumnya haram. Ketetapan tersebut didasarkan pada hadits;

عَنْ جَابِرٍ: «عَنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ نَهَى أَنْ يُبَالَ فِي الْمَاءِ الرَّاكِدِ»

“Dari Jabir, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, bahwasanya beliau melarang kencing dalam air tergenang.” (Shahih Muslim, no. 281)

Meski redaksi pada hadits diatas hanya melarang kencing ditempat tersebut, namun para ulama’ mengqiyaskan (menyamakan) buang air besar dengan kencing, karena efeknya jauh lebih besar (qiyas aula) .

7. Larangan Membunuh Hewan Semena-mena

Imam Nasa’i dalam Sunan-nya meriwayatkan satu hadits dari Tsarid radhiyallahu ‘anhu, beliau menceritakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda;

مَنْ قَتَلَ عُصْفُورًا عَبَثًا عَجَّ إِلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَقُولُ يَا رَبِّ إِنَّ فُلَانًا قَتَلَنِي عَبَثًا وَلَمْ يَقْتُلْنِي لِمَنْفَعَةٍ

“Barang siapa membunuh satu ekor burung dengan sia-sia ia akan datang menghadap Allah SWT di hari kiamat dan melapor: “Wahai Tuhanku, sesungguhnya si fulan telah membunuhku sia-sia, tidak karena untuk diambil manfaatnya”. (Sunan Nasa’i, no. 4446).

Hadits di atas secara jelas menegaskan larangan pembunuhan satwa tanpa tujuan yang dibenarkan secara syar’i  . Karena itulah apabila ada orang yang hendak melakukannya kita wajib mencegahnya, sebagaimana dijelaskan oleh Imam al-Syarbainy dalam kitab Mughni al-Muhtaj:

أَمَّا مَا فِيهِ رُوحٌ فَيَجِبُ الدَّفْعُ عَنْهُ إذَا قُصِدَ إتْلَافُهُ مَا لَمْ يَخْشَ عَلَى نَفْسِهِ أَوْ بُضْعٌ لِحُرْمَةِ الرُّوحِ حَتَّى لَوْ رَأَى أَجْنَبِيٌّ شَخْصًا يُتْلِفُ حَيَوَانَ نَفْسِهِ إتْلَافًا مُحَرَّمًا وَجَبَ عَلَيْهِ دَفْعُهُ

“Adapun hewan  yang memiliki ruh, maka wajib untuk melindunginya  apabila ada yang hendak memunahkannya, sepanjang tidak ada kekhawatiran atas diriny, hal tersebut dilakukan  karena mulianya ruh. Bahkan seandainya ada seseorang yang melihat pemilik hewan memunahkan hewan miliknya dengan pemunahan yang diharamkan, maka (orang yang melihat tadi) wajib memberikan perlindungan.” 

Selain sebagai bentuk kasih sayang pada binatang, ketentuan hukum diatas merupakan salah satu upaya untuk mencegah binatang dari kepunahan.

Daftar Pustaka
1. Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an (Tafsir al-Qurthubi), Imam Muhammad bin Ahmad al-Qurthubi, Dar al-Kutb al-Mishriyah, kairo, Cet. II.
2. Tafsir al-Munir fi al-Aqidah wa al-Manhaj wa al-Hayah, Syekh Dr. Wahabah az-Zuhaily, Dar al-Fikr al-Mu’ashir, Damaskus, Cet. II.
3. Al-Minhaj Syarah Shahih Muslim bin al-Hajjaj, Imam Yahya bin Syarof an-Nawawi, Dar Ihya’ at-Turots al-‘Arobi, Beirut, Cet. II.
4. Aunul Ma’bud Syarah Sunan Abu Dawud, Syekh Muhammad Asyrof bin Amir al-Adhimabadi, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, Beirut, Cet. II.
5. Adz-Dzari’ah Ila Makarim asy-Syari’ah, Syekh Al-Husain bin Muhammad, ar-Roghib al-Ashfihani, Darussalam, Kairo.
6. Mughni al-Muhtaj Syarah al-Minhaj, Syekh Muhammad bin Ahmad al-Khothib asy-Syarbini, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, Beirut, Cet. I.
7. Al-Fiqh al-Manhaji ‘ala Madzhab asy-Syafi’i, Syekh Musthofa Dib al-Bugho dkk. Dar al-Qolam, Damaskus, Cet. IV.
8. Fatwa MUI No.  04  tahun 2014 tentang pelestarian satwa langka untuk menjaga keseimbangan ekosistem.
9. Undang-Undang No. 32 tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.

SEJARAH AL-QUR’AN; DARI PENURUNAN WAHYU HINGGA PEMBUKUAN

Posted by Unknown 0 komentar
Pengertian Al-Qur’an

Ditinjau dari segi Etimologi Al-Qur’an berarti "bacaan".Kata Al-Qur’an adalah bentuk kata benda (masdar) dari kata kerja qara'a yang artinya membaca.
Secara Terminologis adalah : Wahyu yang diturunkan kepada Rasulullah, merupakan mu’jizat terbesar beliau, lafal dan maknanya dari Allah SWT, dan merupakan ibadah bagi yang membacanya.

Proses Turunnya Al-Qur’an

Allah subhanahu wata’ala telah memuliakan kitab suci al-Qur’an dengan menurunkan al-Qur’an melalui 2 tahapan:

1. Al-Qur’an diturunkan secara utuh

Pada tahap pertama, al-Qur’an diturunkan secara utuh ke Baitul Izzah (rumah kemuliaan) yang berada di langit dunia pada bulan romadhon. Hikmah diturunkannya al-Qur’an ke langit dunia adalah untuk menunjukkan keagungan al-Qur’an dan kemuliaan Nabi yang diberikan wahyu berupa al-Qur’an. Selain itu hal tersebut dimaksudkan agar penghuni langit mengetahui bahwa al-Qur’an adalah kitab suci terakhir yang diturunkan kepada Nabi terakhir dan ditujukan bagi umat yang paling mulia.

2. Al-Qur’an diturunkan sedikit demi sedikit

Setelah al-Qur’an diturunkan ke langit dunia, secara berangsur al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad melalui Malaikat Jibril dimulai saat Nabi Muhammad diangkat menjadi Rasul sampai beliau wafat.

Dua tahapan turunnya al-Qur’an ini dijelaskan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Athiyah bin al-Aswad, ia bertanya pada Ibnu Abbas; “Dalam hatiku terdapat keraguan mengenai firman Allah:

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ

“Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan Al Quran.” (QS. Al-Baqoroh : 185).

dan Firman-Nya,

إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ

“Kami menurunkan al-Qur’an pada lailatul qodar.” (QS. Al-Qodr : 1)

padahal al-Qur’an terkadang turun pada bulan Syawal, Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharam, Shafar, dan Ar-rabi’?” Ibnu Abbas menjawab, ”Bahwa al-Quran itu diturunkan pada bulan Ramadhan pada malam Lailah al-Qadar secara sekaligus, kemudian diturunkan lagi berdasarkan masa turunnya bagian-bagian bintang secara berangsur pada beberapa bulan dan hari.” (Al-Asmaa wa ash-Shifaat, no.  487)


Diantara hikmah diturunkannya al-Qur’an sedikit demi sedikit dan tidak secara utuh sebagaimana kitab - kitab suci sebelumnya adalah:

• Untuk menetapkan dan menguatkan hati Nabi Muhammad.

Firman allah dalam surat al furqan ayat 32

وَقَالَ الَّذِينَ كَفَرُوا لَوْلَا نُزِّلَ عَلَيْهِ الْقُرْآنُ جُمْلَةً وَاحِدَةً كَذَلِكَ لِنُثَبِّتَ بِهِ فُؤَادَكَ وَرَتَّلْنَاهُ تَرْتِيلًا

Berkatalah orang-orang yang kafir: "Mengapa Al Quran itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja?"; demikianlah supaya Kami perkuat hatimu dengannya dan Kami membacanya secara tartil (teratur dan benar).

• Mendidik umat Islam agar terbiasa mengamalkan ilmu yang telah didapatkan, sedikit demi sedikit.

• Turunnya wahyu mengikuti keadaan.

Jam’ul Qur’an

Jam’ul Qur’an (Pengumpulan Al–Qur’an) oleh para ulama diartikan menjadi dua makna:

1. Pengumpulan dalam arti Hifzuhu (menghafal dalam hati)

Firman allah dalam surat al qiyamah ayat 17

إِنَّ عَلَيْنَا جَمْعَهُ وَقُرْآنَهُ

Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya.

Sahabat yang terkenal dalam bidang hafalan Qur’an (hafidz) ada 7 orang, yaitu: Abdullah bin Mas’ud, Salim bin Mua’qqil, Muadz bin Jabal, Ubay Bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abu Zaid bin Sukun, dan Abu Darda’.

2. Pengumpulan dalam arti Kitabatuhu kullihi (penulisan Al–qur’an keseluruhan)

Pengumpulan Al-qur’andalam arti ini terdiri tiga periode, yaitu

1. Masa Rasulullah SAW,
2. Masa Khalifah Abu Bakar dan Masa
3. Khalifah Utsman Bin Affan.

1. Pengumpulan pada Masa Rasulullah SAW.

Rasulullah telah mengangkat para sahabat sebagai penulis wahyu. Diantara mereka adalah ‘Ali, Muawiyah, Ubay Bin Ka’ab dan Zaid Bin Tsabit. Bila turun ayat, Rasulullah memerintahkan mereka untuk menuliskannya dan menunjukkan tempat ayat tersebut dalam suatu surat. Hal itu sesuai dengan anjuran Jibril ‘alaihissalam. Para sahabat menuliskannya pada pelepah kurma, lempengan batu, daun lontar, kulit atau daun, pelana atau potongan tulang binatang. Karena keterbatasan media, sehingga pada masa itu Al–qur’an belum rapi dan belum berbentuk mushaf.

Zaid bin Tsabit mengisahkan;

كُنَّا عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نُؤَلِّفُ القُرْآنَ مِنَ الرِّقَاعِ

“Kita berada di samping Rasulullah SAW menyusun al-Qur’an dari riqo’ (Beberapa kertas, kulit atau daun).” (Sunan Turmudzi, no. 3954).

Utsman mengisahkan bahwa ketika turun wahyu kepada Rasulullah, maka beliau akan memanggil sebagian orang yang bisa menulis, kemudian beliau memberi petunjuk dengan mengatakan:

ضَعْ هَذِهِ الآيَةَ فِي السُّورَةِ الَّتِي يُذْكَرُ فِيهَا، كَذَا وَكَذَا.

“Letakkanlah ayat ini pada surat yang dijelaskan begini dan begini.” (Sunan Abu Dawud, no. 786)

Pada masa ini al-Qur’an belum belum dibukukan dengan urutan surat dan ayat seperti mushaf al-Qur’an yang kita pakai. Hal ini dikarenakan saat beliau masih hidup masih dimungkingkan terjadinya nasykh (penghapusan bacaan atau hukum) dalam al-Qur’an.

2. Pengumpulan pada Masa Khalifah Abu Bakar

Penulisan Al–qur’an pada masa Abu Bakar adalah dalam rangka menjaga keutuhan Al–qur’an agar tidak hilang, seiring dengan banyaknya para penghafal Al–qur’an yang syahid di medan perang.

Abu Bakar menjadi khalifah pertama sepeninggal Rasulullah SAW. Ia dihadapkan pada peristiwa–peristiwa berkenaan dengan kemurtadan sebagian orang Arab. Karena itu ia segera menyiapkan pasukan dan mengirimkannya untuk memerangi orang yang murtad itu. Perang Yamamah terjadi pada tahun ke 12 hijriah melibatkan sejumlah besar penghafal Al–qur’an. Dalam peperangan ini sejumlah 70 penghafal Al–qur’an gugur.

Dengan kejadian tesebut, Umar bin Kahattab merasa khawatir jika peperangan di tempat lain akan membunuh banyak penghafal Al–qur’an. Ia lalu menghadap kepada Abu Bakar untuk mengajukan usul agar mengumpulkan dan membukukan Al–qur’an, karena dikhawatirkan akan musnah.

Abu Bakar menolak usulan ini karena tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah. Tatapi Umar tetap membujuknya, sehingga Allah SWT membuka hati Abu Bakar untuk menerima usdulan tersebut. Kemudian Abu Bakar memerintahkan Zaid bin Tsabit untuk melakukan tugas tersebut. Pada awalnya Zaid menolak, keduanya bertukar pendapat sampai akhirnya Zaid dapat menerima dengan lapang dada perintah penulisan itu. Zaid memulai tugas beratnya dengan bersandar pada hafalan yang ada dalam hati para penghafal dan catatan yang ada pada penulis. Kemudian lembaran–lembaran tersebut disimpan oleh Abu Bakar. Setelah Abu Bakar wafat pada tahun 13 Hijriah, kemudian berpindah ke tangan Umar hingga ia wafat. Kemudian berpindah ke tangan Hafsah, putri Umar.

3. Pengumpulan pada Masa Khalifah Utsman bin ‘Affan

Penulisan pada masa Usman terjadi pada tahun 25 Hijriah. Penulisan pada masa ini adalah dalam rangka menyatukan berbagai macam perbedaan bacaan yang beredar di masyarakat saat itu. Ketika terjadi perang Armenia dan zarbaijan dengan penduduk Irak, di antara orang yang ikut menyerbu kedua tempat itu ialah Huzaifah bin Yaman. Ia melihat banyak perbedaan dalam cara–cara membaca Al–qur’an. Sebagian bacaan itu bercampur dengan kesalahan, tetapi masing–masing mempertahankan dan berpegang pada bacaannya, serta menentang setiap orang yang menyalahi bacaannya dan bahkan mereka saling mengkafirkan. Melihat kenyataan demikian Huzaifah segera menghadap Utsman dan melaporkan kepadanya apa yang dilihatnya.

Dengan keadaan demikian, Utsman pun khawatir bahwa akan adanya perbedaan bacaan pada anak–anak nantinya. Para sahabat memprihatinkan kenyataan karena takut kalau ada penyimpangan dan perubahan. Mereka bersepakat untuk menyalin lembaran–lembaran pertama yang ada pada Abu Bakar dan menyatukan umat Islam pada lembaran–lembaran itu dengan bacaan yang tetap pada satu huruf.

Utsman kemudian mengirimkan utusan kepada Hafsah untuk meminjam mushaf yang ada padanya. Kemudian Utsman membentuk panitia yang beranggotakan Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Sa’id bin ‘As, dan Abdurrahman bin Haris bin Hisyam, ketiga orang terakhir adalah suku Quraisy. Lalu memerintahkan mereka untuk memperbanyak mushaf. Nasehat Utsman kepada mereka:

1. Mengambil pedoman kepada bacaan mereka yang hafal Al–qur’an

2. Jika ada perselisihan di antara mereka tentang bahasa (bacaan), maka haruslah dituliskan dalam dialek suku Quraisy, sebab Al–qur’an diturunkan menurut dialek mereka .

إِذَا اخْتَلَفْتُمْ أَنْتُمْ وزَيْد بْنُ ثَابِتٍ فِي شَيْءٍ مِنَ الْقُرْآنِ ، فَاكْتُبُوهُ بِلِسَانِ قُرَيْشٍ ، فَإِنَّمَا نَزَلَ بِلِسَانِهِمْ

Artinya : Jika kalian berbeda bacaan dengan Zaid Ibn Tsabit pada sebagian ayat Al-Qur’an, maka tuliskanlah dengan dialek Quraisy, karena Al-Qur’an diturunkan dengan dialek tersebut

Mereka melaksanakan perintah tersebut. Setelah mereka selesai menyalinnya menjadi beberapa mushaf, Utsman mengembalikan lembaran asli kepada Hafsah. Al–qur’an yang telah dibukua dinamai dengan “Al – Mushaf”, dan panitia membuat lima buah mushaf. Empat di antaranya dikirimkan ke Mekah, Syria, Basrah dan Kufah, agar di tempat – tepat itu disalin pula, dan satu buah ditinggalkan di Madinah, untuk Utsman sendiri, dan itulah yang dinamai Mushaf “Al–Imam”, dan memerintahkan agar semua Al–qur’an atau mushaf yang ada dibakar.

Dengan demikian, dibukukannya Al–qur’an di masa Utsman manfaatnya yang utama adalah:

1. menyatukan kaum muslimin pada satu macam mushaf yang seragam ejaan dan tulisannya.

2. menyatukan bacaan, dan kendatipun masih ada kelainan bacaan, tetapi tidak tidak bertentangan dengan ejaan mushaf–mushaf Utsman.

3. menyatukan tertib susunan surat–surat.

Pemberian Titik Dan Harokat Pada Alquran

al-Qur’an yang telah dikodifikasi mulai dari nabi Muhammad sampai masa Khalifah Utsman bin ‘Affan ditulis dengan menggunakan tanpa titik ataupun tanda baca yang dapat membedakan antara satu huruf dengan huruf lainnya. Pun demikian generasi awal Islam ini, jarang terjadi kesalahan dalam pengucapan bahasa Arab maupun dalam membaca al-Qur’an. Dan juga belum terpikirkan oleh para sahabat untuk menambahkan titik dan harakat   pada tulisan al-Qur’an. Hal ini diperkuat dengan adanya seruan dari sahabat ‘Abdullah bin Mas’ud:

جرّدوا القران ولا تخلطوه بشئ

"Murnikanlah al-Qur’an dan jangan mencampur baurkannya dengan apapun."

Alqur'an pada mulanya ditulis tanpa titik dan harkat seperti yang kita lihat sekarang ini. Hal ini terus berlangsung hingga imperium Islam terus meluas ke berbagai wilayah di sekitar jazirah Arab. Setelah Islam menyebar diberbagai wilayah orang-orang Islam non-arab ('ajamy) merasa kesulitan untuk membaca Alqur'an yang pada waktu itu masih masih 'kosong'. Tentu saja kesulitan ini memaksa para pemimpin untuk mencari solusi guna menjaga keutuhan Alqur'an.

Abu al-Aswad al-Dualy (w. 69 H/ 688 M) adalah orang yang membuat harokat al quran, awalnya beliau mendengar orang membaca ayat

 أَنَّ اللَّهَ بَرِيءٌ مِنَ الْمُشْرِكِينَ وَرَسُولُهُ

Lam kalimat رسولِهِ  dibaca  kasroh yang berarti Allah berlepas diri dari orang-orang musyrik dan Rasulnya.

Harkat yang diciptakan oleh Abu al-Aswad ini lalu disempurnakan Imam Kholil bin Ahmad al-Bashry pada masa dinasti Abbasiyah, hingga menjadi bentuk harkat seperti yang ada sekarang. Adapun titik yang terdapat pada huruf ba', ta', tsa', jim, ha', kha', dzal, za', dan lainnya, itu terjadi pada masa khalifah Abdul Malik bin Marwan Saat itu beliau memerintahkan gubernurnya di Irak yang bernama Hajjaj bin Yusuf. Hajjaj bin Yusuf lalu menyuruh Nashr bin Ashim dan Yahya bin Ya'mur untuk merealisasikan keinginan khalifah Abdul Malik bin Marwan tersebut. Dalam penulisan titik huruf tersebut, Nashr bin Ashim menggunakan tinta yang warnanya sama dengan tinta yang digunakan untuk menulis mushaf, agar tidak serupa dengan titik tanda harkat yang digunakan oleh Abu al-Aswad al-Dualy

Sejak saat itulah dalam mushaf Alqur'an sudah ada titik huruf dan titik harkat. Titik yang diciptakan oleh Abu al-Aswad disebut Titik I'rab, sedangkan titik yang diletakkan oleh Nashr bin Ashim disebut Titik Huruf.


DAFTAR PUSTAKA

1. Al-Qur’an al-Karim
2. al-Qaththan Manna’, 1999.  Mabahits fi ‘Ulumil Qur’an, juz 5. Bairut: Penerbit Ar-Risalah.
3. Azzarqani, Abdul Azhim, Manahilul Irfan fi Uluumil Qur’an, I&II Isa al-Babib al-Halaby, Mesir.
4. Ibnu Hajar, Ahmad bin Ali, 1407H, Fathul Bari, al Maktabah Assalafiah, Kairo

Serba - Serbi